FILSUF PARIPATETIK ISLAM (Telaah Pemikiran Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina)

Jasa Penulisan Makalah - Ketika berbicara peradaban saat ini maka kita akan mengaca pada dunia Barat, namun kejayaan yang dialami Barat tidak bisa dilepaskan dari romantisme sejarah dunia timur, tepatnya ketika Islam memegang tampuk kekuasaan ketika itu. Pra abad empat belas akhir, Islam memegang otorias peradaban di kehidupan ini, keilmuan sangat berkembang mulai dari ilmu sosial, teologi, sampai ilmu eksak. Hal ini tidak heran pasalnya para pemengang tampuk kekuasaan ketika itu sangat apresiatif terhadap ilmu, jerih payah para ilmuan dihargai dengan harga yang setimpal. Tak heran jika ketika itu para ilmuan banyak berlomba-lomba dalam mengembangkan keilmuanya.

Filsafat termasuk salah satu ilmu yang digemari ketika. Banyak orang Islam yang menjadi inspirator besar bagi perkembangan dunia, di antara beberapa tokoh filsafat yang terkenal dalam Islam, terlebih yang berbicara tentang kejiwaan adalah, Al-Kindi>, Al-Farabi>, dan Ibnu Si>na>. pemikiran ketiga tokoh ini adalah serumpun, sehingga mereka dikatakan filsuf paripatetik dalam Islam. hal ini disebabkan karena pemikiran mereka tidak bisa lepas dari Aristoteles. Filsafat kejiwaan yang mereka bahas tidak lepas dari konteks teologi, yaitu banyak berkaitan dengan masalah ketuhaan, ini juga salah satu yang dapat membedakan antara filsafat Islam dan Barat.  Pembahasan mereka tentang jiwa sangat terperinci, hal ini memberi kemudahan dalam memahami muara pemikiran yang dikembangkan oleh mereka.

I.    Pendahuluan.
A.    Latar Belakang.
Menjelang sekitar abad ke enam tepatnya 571 M ., sang pelopor dan pemangku risalah terakhir sebagai penutup utusan Alla>h dilahirkan. Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h yang diangkat oleh Alla>h sebagai pembawa risalah agama Islam, di lingkungan yang tidak beradab (Jahiliyah). Kemunculan Muh}ammad dengan membawa misi kenabian berhasil membuah toretan emas di jazirah tandus, sehingga membuat daerah tersebut menjadi pusat lahirnya agama Islam, yang menyebabkan di kenal di dunia.  Kurang lebih sekitar 15 abad Islam menjadi sebuah agama besar yang menandingi agama-agama samawi terdahulu (Kristen dan Yahudi) meskipun ia termasuk paling muda. Dengan umur yang lumayan tua ini Islam mengalami fluktuasi yang sangat signifikan lebih-lebih pada perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal yang sampai saat ini masih dikenal.

Hidup di abad 21 ini adalah hidup di zaman kegelapan Islam. sebab saat ini peradaban tidak lagi dikendalikan dan dipegang oleh orang Islam, namun ia berada di tangan orang-orang Barat. Melacak akar sejarah tentang zaman ke emasan Islam, sehingga menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan di segala bidang baik berupa ilmu eksak dan sosial, adalah zaman dinasti ‘Abbasi>yyah tepatnya. Dinasti ‘Abbasi>yyah menjadi satu-satunya dinasti yang sangat berperan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini tidak mengherankan sebab penguasa yang memegang kendali pemerintahan sangat tinggi apresiasinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan internal orang Islam, menurut Philip K Hitti adalah dimulai dari penaklukan orang Islam terhadap daerha Bulan Sabit . Penaklukan daerah ini yang mengantarkan orang Islam bersentuhan dengan budaya Yunani yang dikemudian hari kelak menjadi satu sebab determinan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Perkembangan ilmu pengetahuan di masa itu (dinasti Abbasiyah) dengan lonjokan yang sangat signifikan bukanlah lahir begitu saja. Kecintaan para pemegang tampuk kekuasaan dari dinasti tersebut sangat apresiatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat ketika al-Ma’mun menjadi khalifah, kegemaran ia terhadap ilmu pengetahuan ditindak lanjuti dengan reaksi ia mengutus utusan ke Konstantinopel, langsung kepada Raja Leo dari Armenia untuk mencari naskah-naskah Yunani yang dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Nestor termasuk orang suriah yang menerjemahkan naskah-naskah tersebut ke dalam bahasa Suriah, sehingga ia menurut para sejarawan yang dikutip K. Hitti ditasbihkan sebagai penerjemah pertama ke dalam bahasa Suriah.
 
Namun dalam pembahasan yang singkat ini tertuju pada filosof paripatetik Islam,  dimana mereka mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan ilmu pengetahuan. Pandangan yang disorot dalam pembahasan ini adalah pembahasan mereka tentang jiwa, hal ini dianggap karena kurangnya para pengakaji setelahnya yang memaparkan aspek keilmuwan mereka tentang masalah jiwa.

B.    Rumusan Masalah:
1.    Bagaimana pendapat Al-Kindi> dalam masalah jiwa?
2.    Bagaimana Pemikiran Al-Farabi> tentang jiwa?
3.    Bagaimana jiwa dalam pandangan Ibnu Si>na>?

C.    Tujuan:
1.    Untuk mengetahui pendapat Al-Kindi> tentang Jiwa.
2.    Supaya mengerti filsafat jiwa dalam pandangan Al-Farabi>
3.    Untuk memahami pendapat Ibnu Si>na> tentang jiwa.

2. Pembahasan.
A.    Filsuf Paripatetik

Donald M. Borchert menyebut Filusuf yang mengikuti alur pikiran Aristoteles (Aristotelian), dengan sebutan kaum Peripatetik.  Maka peripatetisme adalah istilah bagi falsafah yang mengikuti jalan Aristoteles yang tentunya tidak hanya ada dalam Islam tetapi pas setelah wafatnya Aristoteles sudah ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Para filsuf Peripatetik dalam Islam antara lain adalah Al-Kindi> dan lalu setelah mengalami kemunduran, falsafah Peripatetik kembali bangkit di Andalusia lewat Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd.

1.    Al-Kindi
a)    Biografi Al-Kindi>>
Abu> Yu>suf Ya’qu>b bin Isha>q Al-Kindi>>, adalah nama lengkap dari Al-Kindi>>, Lahir di kota Ku>fah, ‘Ira>k pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi>> merupakan seorang bangsawan, gelar Al-Kindi>> dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Ayahnya, Isha>q, adalah gubernur Ku>fah di dinasti ‘Abba>siyah pada masa pemerintahan al-Mahdi> (775-785) dan al-Rasyid (786-809). Al-Kindi> adalah filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus, Al-Kindi> banyak berperan terutama pada abad pertengahan di masa pemerintahan khali>fah al-Ma`mun (813-833). Salah satu peranya adalah menjadi staf pengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi> hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma’`mu>n (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).  Al-Kindi> hidup dalam atmosfer intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Ku>fah, yang berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-Kindi> tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Al-Kindi> berhasil mengubah sekaligus mengembangkan beberapa istilah yang menarik perhatian para filosof sesudahnya, seperti: kata al-jirm menjadi al-jism; kata at-tawahhum (imaginasi) menjadi at-takhayyul, dan sebagainya.

Namun saat khalifah al-Mutawakkil memerintah, dan mazhab resmi negara diganti menjadi Ash’ari>yyah, yang sebelumnya Mu’tazilah. Peran Al-Kindi>> mengalami kemunduran salah satunya adalah penyitaan perpustakaannya yang bernama Kindi>yyah walaupun pada akhirnya dikembalikan. Hal ini ditenggarai bahwa ketika itu dalam pandangan Muh}ammad dan Ah}mad yang keduanya termasuk putra Shaki>r, seorang yang belajar filsafat cenderung kurang hormat terhadap agama, hal ini ditanggapi serius oleh khalifah al-Mutawakkil, sehingga ia mendera dan menyita perpustakaan Al-Kindi>. Al-Kindi> menghembuskan nafas terakhir pada tahun 866 M/252 H.

Al-Kindi> menempuh pendidikanya di Basrah, akan tetapi ia menetap di Bagdad dengan santunan dari khalifah Al-Ma’mun. Dia termasuk tokoh Arab yang memperkenalkan dan menerapkan metode rasional terhadap Al-Qur’an. Ia mempunyai banyak karya, yang meliputi matematika, ilmu alam, dan filsafat. Namun sebagaimana yang dicacat oleh Karen Armstrong, ia lebih menitik beratkan terhadap agama.  Ibn Nadim (w. 995) berpendapat bahwa,  Al-Kindi> melahirkan sampai 242 karya yang mencakup bukan saja filsafat Yunani. Dalam salah satu karyanya yang masih bisa diakses sampai sekarang, Fi Al-Falsafah Al-Ula, Al-Kindi> mendefinisikan falsafah sebagai “karya manusia yang paling tinggi dan luhur” karena dipakai untuk mencari kebenaran, dan yang paling luhur adalah berfikir tentang Tuhan. Al-Kindi> mengacu pada pandangan Aristoteles dalam Protrepticus yaitu “belajar falsafah memang tidak harus, tetapi juga tidak sia-sia”. Mereka yang menyebutnya sia-sia harus membuktikan kesia-siaannya secara sahih dan jika demikian, itu sama dengan berfilsafat.

Mengenai sifat-sifat esensial Sang Maha Esa, Al-Kindi> menggaris bawahi mutlaknya keesaan Alla>h sebagai penyebab bagi semua yang ada (mawjud). Meskipun tampak beragam, semua mawjud pada dasarnya bermula dari kesatuan Sang Maha Esa. Katanya, “Tanpa kesatuan semacam itu, tidak akan ada satu apapun. Akibat kesatuan inilah segala sesuatu menjadi ada. Dan sekiranya Dia berhenti memelihara dan mengatur alam semesta, segala yang ada bakal hancur berantakan.” Namun Al-Kindi> meyakini creatio ex nihilo. Alam tidak abadi tapi huduts yang artinya tercipta dalam waktu dan karena itu, berarti bermula. Sebelum dia ada, dia pernah tiada.  Ini meurut Karen Armstrong adalah pendapat yang berbeda yang dikemukakan Al-Kindi> terhadap Aristoteles, dan pendapat ini bersesuain dengan al-Qur’an. Baca juga: Ulumul Hadist dalam Perbincangan

b)    Pemikiran Al-Kindi> Tentang Jiwa.
Menurut al-Kindi> roh tidak tersusun, sederhana tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubunganya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri argumen yang dikemukakan Al-Kindi> tentang kelainan roh dan badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah. Roh menentang keinginan hawa nafsu. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.

Dengan perantara rohlah  manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan; pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan meninggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan kata lain seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersifat dari segala noda kebendaan, dan senantiasa berfikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci dan di ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakikat, tak ubahnya sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran dari benda-benda yang ada di depanya.

Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi karena roh adalah cahaya dari tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada tuhan. Tetapi kalau roh kotor, maka sebagai mana halnya dengan cermin kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya berasal dari tuhan.

Dalam pandangan Al-Kindi> jiwa mempunyai tiga daya:
1)    Daya bernafsu (apperatitive)
2)    Daya pemarah (irascible)
3)    Daya berfikir (cognitive faculty)

Al-Kindi> lebih lanjut membagi akal menjadi tiga macam, yaitu: akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedau dari aktualitas.  Untuk itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah perbuatan yang merupakan buah dari niat dan kehendak,  dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan oleh getaran-getaran.  Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakanya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-Kindi> ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi actual. 

c)    Karya Al-Kindi>
Al-Kindi> merupakan ilmuwan yang sangat produktif sekali, oleh karena itu Ibn Nadim (w. 995) berpendapat bahwa,   Al-Kindi> melahirkan sampai 242 karya yang, ini meliputi beberapa disiplin ilmu pengetahuan. Namun beberapa karyanya sulit diakses, salah satu karyanya yang masih bisa diakses sampai sekarang diantaranya adalah:Madkhal al-Mant}i>q, Al-Mana>dhirAl-Fala>qoyah, Al-Ghizda Wa-al-Dawa>, Al-Muh}li>k, Al-Nafsu Jauharun Basi>t}un, Ilmu Falak, dan Fi> Al-Falsafah Al-U>la>. Mengenai karya yang menjadi magnum opusnya yang dihasilkan oleh bapak filosof muslim ini adalah adalah Fi> Al-Falsafah Al-U>la>.

2.    Al-Farabi
a)    Biografi Al-Farabi>.
Nama lengkap Al-Farabi>> adalah Abu> Nas}r Muh>ammad Al-Farabi>>. Beliau dilahirkan di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. dididik oleh seorang dokter Kristen dan penerjemah Kristen dari Bagdad, dan hidup sebagai seorang sufi di Aleppo dalam istana Shaf al-Dawlah al-H}amdani.   Al-Farabi> dalam sumber-sumber Islam lebih akrab  dikenal sebagai Abu> Nasr.  Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya  Muh}ammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik  Ibunya berasal dari Turki.  Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Al- Farabi adalah seorang Shi’ah Imamiyah (Shi’ah Ima>mi>yah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang berasal dari Turki.  Di dunia barat ia dikenal sebagai Alpharabius, Farabi>, dan Abu>-Nasir.

Pada mulanya ia menjadi seorang qadhi. Kemudian ia melepaskanya,dan berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama Al-Farabi> adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, Al-Farabi> membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa Al-Farabi> telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah Al-Farabi> mempelajarinya dalam bahasa aslinya.

Al-Farabi> dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. 

Al-Farabi> adalah seorang Filusuf turki yang hidup di zaman dimana masyarakat kurang berpendidikan, sehingga dalam padangan Karen Armstrong, masyarakat ketika itu tidak cukup mampu menerima rasionalisme filosofis.  Al-Farabi> termasuk seorang yang mempunyai keistimewaan dalam segi intelektualnya, ia juga termasuk pengembara, sebagaimana yang dilansir oleh Zakariya>’ bin Muh}ammad, dalam karyanya “Atharu al-bila>d wa Akhba>ru al-Iba>d”, jika Al-Farabi> pergi ke suatu kota kemudian ia kagum maka beliau menetap untuk beberapa saat dan membeli rumah dengan kebun, sekaligus nikah dengan seorang hamba di daerah tersebut, jika sudah merasa bosan ia mentalaknya dan memberikan semua rumah serta kebunya, lalu ia tidak kembali untuk selamanya pada daerah tersebut.  Tempat-tempat yang pernah disinggahinya adalah Bagdad, di sana ia memperdalam ilmu bahasa, dan ia bertemu dengan Matta bin Yunus Seorang Filosof logika,  ia pun belajar kepadanya. Kemudian ia pergi ke Harran di sana ia bertemu dengan Yuhana bin Jilan seorang yang beragama Kristen, kemudian ia belajar juga tentang filsafat padanya. Lalu meneruskan perjalanya ke Damaskus, kemudian ke Mesir, dan kembali lagi ke Damaskus. Dari pengembaraan ini ia mempunyia intelektual yang sangat tinggi.  Al-Farabi> wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ yang masih tergolong dinasti Abbasiyah.

b)    Pemikiran Al-Farabi>
Al-Farabi> termasuk seorang yang mempunyai intlektualitas yang tinggi, tak heran jika ia banyak mengusai disiplin keilmuwan, seperti ilmu bahasa, ilmu matematika, ilmu logika, ilmu ketuhanan ilmu musik, ilmu astronomi, ilmu perkotaan, ilmu fiqh, ilmu fisika, ilmu mekanika, ilmu tata negara, dan ilmu kalam.  Namun dalam pembahasan kali ini lebih terfokus pada displin ilmu kejiwaan yang dikembangkan oleh Al-Farabi> hal ini dianggap jarang di kutip dan dibahas oleh para pengkaji Al-Farabi>. Dalam masalah jiwa Al-Farabi> berkonsentrasi untuk menjelaskan amal iradi (aksi volisional). Untuk itu, ia membedakan iradah dari ikhtiar. Ia berpendapat bahwa iradah dilahirkan oleh rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi. Sedangkan ikhtiar semata-mata dilahirkan oleh pemikiran dan analisa.
 
Seolah-olah ia menurunkan pengertian kehendak ke dalam standar kecendrungan, karenanya dimungkinkan jatuh ke alam hewani. Akan tetapi di tempat lain ia berusaha untuk menganalisa tingkat-tingkat amal-amal iradi. Jelas bahwa niat mendahului, tidak bersamaan dengan aksi dan juga disebut azam yakni, persoalan yang disimpan oleh hati bahwa anda akan melakukan hal itu. Sedangkan al-Qasd (unsur kesengajaan) menurut Al-Farabi> terjadi bersamaan dengan aksi.  Baik niat, azam maupun qasad merupakan fenomena psikologis yang berlandaskan pada prinsip pemikiran dan analisa.

Nilai kehendak terletak pada kebebasanya. Al-Farabi> telah menjelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika kehendak, karena ia bebas untuk mewujudkan apa yang ia kehendaki dan perbuat. Akan tetapi kebebasan ini tunduk kepada hukum-hukum alam, masing-masing diberi fasilitas sesuai kejadianya, perhatian Alla>h mencakup segala hal dan berhubungan dengan setiap orang, dan setiap yang ada ini terjadi atas qada dan qadar-Nya.

Mungkin faktor inilah yang mendorong De Boer untuk mengatakan bahwa Al-Farabi> termasuk kelompok jabariah.  Kami khawatir jiak hal ini keterusan dalam menafsirkan perhatian tuhan menurut filosof kita ini, karena menurutnya perhatian tuhan adalah pengaturan kokoh dan universal yang tidak mengandung kontradiksi. Sebab, manusia mempunyai bidang sedangkan alam mempunyai sistem, di mana bidang manusia tidak akan terwujud kecuali jika memenuhi persyaratan kehendak. Betapa hal ini mirip sekali dengan harmonia pra estabilita yang dikemukakan oleh Leibniz kira-kira tujuh abad setelah Al-Farabi>.
 
Jiwa dalam pandangan Al-Farabi> mempunyai daya-daya, ini seirama pendapat yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu:

1.    Gerak (motion):
a)    Makan (nutrition)
b)    Memelihara (preservation)
c)    Berkembang (reproduction)

2.    Mengetahui (cognition):
a)    Merasa (sensation)
b)    Imajinasi (imagination)

3.    Berpikir (intellection)
a)    Akal praktis (practical intellect),
b)    Akal teoritis (theoretical intellect).

Selanjutnya Al-Farabi> membagi daya berfikir menjadi tiga tingkatan; Pertama, akal potensial (material intellect), baru melepaskan arti-arti berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. Kedua, akal aktual (actual intellect) telah dapat mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk actual. Ketiga, akal mustafad (acquired intellect), telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms), kalau akal actual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk-bentuk ini berlainan dengan abstracted intelligibes, tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan tuhan.

Sedangkan dalam masalah teologi, Al-Farabi> juga sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Plato. Sebagaimana dikutip Karen Armstrong, Al-Farabi> menunjukan pemikiranya yang sejalan dengan Plato, bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpim sebagaimana ciri pemimpim yang digambarkan oleh Plato, yakni yang dapat membuat kejayaan pada yang dipimpimnya. Nabi Muhammad dapat mengungkapkan kebenaran universal dalam bentuk imajinatif yang dapat dipahami oleh orang awam, sehingga Islam secara ideal cocok dan perkembanganya sangat pesat sekali.  Meskipun termasuk seorang sufi, namun ia berpendapat bahwa wahyu sebagai proses yang sepenuhnya alamiah.  Filsafat yang digemari oleh Al-Farabi> dalam pandangan Karen adalah kajian teologi, sehingga tak heran jika risalahnya dimulai dengan kajian tentang tuhan. Mengenai konsep tuhan pandangan Al-Farabi> mengimani apa yang dikonsepkan oleh Aristoteles dan Plotinus, bahwa “dialah yang pertama dari semua wujud”.

Menurutnya, manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan individu lain untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Untuk itu -dalam negara ideal- harus ada pembagian tugas bagi setiap individunya. Jika semua berjalan proporsional, kebutuhan negara dan warga negara akan tercapai. Tak kalah pentingnya adalah etika. Sebagai bagian penting filsafat, Al-Farabi> menganggap apabila orientasi moral berhasil, maka warga dalam negara ideal ini dapat dikatakan sebagai warga ideal. Artikel relevan lainnya: Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Syariah Metodologis.

Pendapat Al-Farabi> mengenai wujud Alla>h dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi Al-Farabi> tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut Al-Farabi> alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya Al-Farabi> percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat Al-Farabi> ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi Al-Farabi> logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.

c)    Karya-Karya Al-Farabi>
Karya-karya nyata dari Al-Farabi> adalah : Al-Ja>mi’u baina Ra’ya Al-H}>akimain Al-fala>toni Al-Hahiy wa Arist}o>-thai>ls (pertemuan atau penggabungan pandapat antara Plato dan Aristoteles), Tah}si>lu al-Sa’adah ( mencari kebahagian), Al-Siya>satu Al-Madinah (politik pemerintahan), Fususu Al-Taram (hakekat kebenaran), Arroo>’u Ahli Al-Madinah Al-Fadi>lah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan), Al-Shiya>shah (ilmu politik), Fi> Ma’ani Al-Aqli, Ihs}a>’u Al-Ulu>m (kumpulan berbagai ilmu), Al- Tangi>bu ala> Al- Sa’adah, Isa>betu Al-ufaraqa>t, Atharu al-bila>d wa Akhba>ru al-Ibad, dan Risa>lah fi> Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhi>lah.
Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubunga.

3.    Ibnu Si>na>
a)    Biografi Ibnu Si>na>
 Abu> Ali> al-H}usain, adalah nama depan dari pada Ibnu Si>na> (Avicena 980-1073), putra dari Abd Alla>h dari keluarga Isma>’il. Sedangkan nama lengkapnya adalah Abu> Ali Husain Ibn Abd Alla>h Ibn Si>na>. Dilahirkan di Asfhana, suatu tempat dekatBukhara, pada tahun 980. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.  Di negeri kelahiranya ia  dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.
 
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya>, seorang Masehi. Tak ayal jika beliau mempunyai karya dalam bidang kedokteran yang sangat monumental adalah al-Qanu>n fi> al-Thibb, adalah sebuah karya yang menjelaskan tentang kodifikasi kedokteran Yunani Arab. Dan Kitab al-Shi>fa’ adalah sebuah ensiklopedi filsafat yang didasarkan atas tradisi Aristotelian yang telah dipengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi Islam.   Di dunia barat Ibnu Si>na> dikenal dengan sebutan Avicenna, keilmuwan yang dimiliki Ibnu Si>na> juga dipengaruhi oleh kalangan Shi’ah Isma>’ili> yang datang sering beragumentasi dengan ayahnya.  Ia baru memulai membukukan pemikiranya pada waktu umur 21 tahun, namun kecerdasan yang ia miliki membuat ia terkenal jauh sebelumnya, ketika beliau mencapai umur enam belas tahun ia sudah menjadi penasihat ahli kedokteran. Dan ketika umur delapan belas tahun ia mengusai ilmu matematika, logika, dan fisika.
 
Secara sederhana bahwa Ibnu Si>na> termasuk tokoh yang mempunyai multi pengetahuan,  hanya saja ia lebih terkenal dan mendalam dalam bidang filsafat dan kedokteran.  Ini dapat dilihat dari karya beliau yang sangat monumental di bidang tersebut dan juga para sejarawan dan ilmuwan banyak mengutip dan menguraikan pemikiran beliau lebih mendetail dalam dua aspek keilmuwan tersebut ketimbang dari keilmuwan yang lain. Dalam bidang kedokteran kemasyuran beliau berada satu tingkat dibawah Al-Ra>zi>, sedangkan dalam bidang filsafat ia lebih masyur ketimbang al-Ra>zi>.

Integritas yang tinggi dalam bidang filsafat membuat namanya dikenal di mana-mana. sehingga menurut Karen Armstrong, filsafat mencapai puncaknya ialah pada waktu Ibnu Si>na>. Ia juga dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya, sebagaimana dilansir oleh Ima>m Nawawi>.  Namun pemahaman ia tentang filsafat baru ia dapatkan setelah membaca kaya Al-Farabi> (Intentions of Aristotle’s Metaphysics).   Tak heran jika pemikiran ia tentang filsafat banyak menyempurnakan pemikiran atau serumpun dengan pemikiran yang ditempuh Al-Farabi>. Ketika berusia muda dia pernah mendapatkan berkah, tepatnya usia 17 tahun, Ibnu Si>na> dengan kecakapanya dalam ilmu kedokteran ia berhasil menyembuhkan sultan dinasti Samiyah di Bukhara Nuh ibn Manshur (memerintah 976-977) setelah semua tabib terkenal yang diundang gagal. Inilah awal kebangkitan yang sangat membantu pada perjalanan keilmuwan Ibnu Si>na>. ia diberi hak istimewa untuk mempergunakan perpustakaan milik raja tersebut.

Kecerdasan yang dimiliki Ibnu Si>na> mengantarkan dia untuk menulis karya, penulisan karyanya oleh Ibnu Si>na> dimulai ketika ia berusia 21 tahun. Terdapat perbedaan pendapat tentang hasil karya dari Ibnu Si>na>, Al-Qift}i mengatakan hanya 45 karya, sedangkan penulis beografi modern yang dikutip K. Hitti menyebutkan karya Ibnu Si>na> mencapai 200 karya. Karya-karya tersebut meliputi Filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, teologi, filologi, dan kesenian.  Sebagai seorang ilmuwan yang handal ia bersifah rendah diri. Ia juga termasuk pengembara ke seluruh penduduk Islam. ia juga bertahan hidup dari pemberi santunan. Ia juga pernah menjadi wazir dalam pemerintahan dinasti Buwaihi yang Syiah diwilayah Iran barat dan Irak selatan sekarang. Konon sebagaimana dilansir oleh Karen Armstrong, Ibnu Si>na> meninggal ketika umurnya mencapai 58.

b)    Pemikiran Ibnu Si>na>
Salah satu pemikiran yang dikembangkan oleh Ibnu Si>na> adalah dalam masalah logika, dimana ia membagi ilmu menjadi dua macam; tas}awwur (hanya tergambar dalam pikiran) dan tas}di>q (yang dapat dibuktikan melalui indera).  Ia juga mengembangkan beberapa keilmuwan yang lain. Hanya saja dalam pembahasan ini lebih ditenkankan dalam aspek kejiwaan. Terdapat dua aspek yang dibahas oleh Ibnu Si>na> tentang Jiwa yaitu fisika dan metafisika. Metode eksperimen dipakai dalam segi fisika, sebagai seorang dokter dalam pembahasan fisika juga banyak dipengaruhi oleh lapangan kedokteran. Pengaruh Ibnu Si>na> dalam soal kejiwaan banyak mempengaruhi para pemikir setelahnya, tidak hanya di kalangan Arab, namun juga bagi non Arab. Sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada  tokoh Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.

Banyak yang berpendapat temuan filsafat yang terpenting Ibnu Si>na> ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi>, ia juga menganut faham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancarsegala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibri>l.

Ibnu Si>na> berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat  yaitu: pertama sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Alla>h, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Pleh karena itu mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.  Berangkat dari pemikirannya tentang Tuhan timbulah akal - akal pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya, timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Pemikiran Ibnu Si>na> tentang wujud di sini berbeda dengan yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dan para Sufi.

Jika dipetakan mengenai pemikiran Ibnu Si>na> maka secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu :
  1. Fisika dalam bidang ini membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. 
  2. Metafisika, adalah membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Kemudian dari dua bagian besar tersebut, Ibnu Si>na> merinci jiwa dalam tiga bagian
  1. Jiwa tumbuh – tumbuhan, dengan daya Makan,tumbuh dan berkembang biak. 
  2. Jiwa binatang dengan daya, gerak, menangkap, dan dengan dua bagian: yaitu, menangkap 
  3. Jiwa manusia dengan daya, praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak.
Ibnu Si>na> juga memetakan kembali kedudukan akal secara hirarki, yaitu menjadi empat tingakatan:
  1. Akal materiil adalah akal yang mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun. 
  2. Intelectual in habits, ialah akal yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak. 
  3. Akal actuil, adalah akal yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak. 
  4. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sedangkan mengenai jiwa dan badan, Ibnu Si>na> berpendapat bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tidak butuh pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih membutuhkan badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.  Secara sederhana antara jiwa dan badan dua aspek yang saling melengkapi, jika dipisahkan maka menyebabkan disfungsi di antara salah satunya. Pendapat Ibnu Si>na> tentang jiwa berbeda dengan ilmuwan Islam Al-Ghazali>. 

Ibnu Si>na> berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat tiga jiwa. Pertama jiwa tumbuhan. Jiwa ini termasuk tingkatan jiwa yang paling rendah dan terdiri dari tiga kemampuan yaitu, nutrisi, tumbuh, dan daya. Dengan semu kemampuan ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.  Kedua, jiwa hewani, yang memiliki dua daya yaitu: Daya penggerak dan daya persepsi. Sedangkan pada aspek penggerakan terdiri dari dua daya yaitu 10 daya pendorong dan  daya berbuat. Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali> menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah .

Ketiga, jiwa rasional, ini mempunyai dua daya yaitu; daya praktis dan 20 daya teoritis. Fungsi pertama adalah menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive, sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah , sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql . Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak.

c)    Karya-Karya Ibnu Si>na>
Seorang ilmuwan dipastikan menghasilkan karya, karena karya merupakan harga mati bagi seorang ilmuwan. Mengenai karya yang dihasilkannya terdapat perbedaan pendapat. Al-Qifthi mengatakan hanya 45 karya, sedangkan penulis beografi modern yang dikutip K. Hitti menyebutkan karya Ibnu Si>na> mencapai 200 karya. Karya-karya tersebut meliputi Filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, teologi, filologi, dan kesenian.  Diantara karangan-karangan Ibnu Si>na> yang berhasil dihimpun dalam buku besar Essai de Bibliographie Avicenna yang ditulis oleh Pater Dominician di Kairo dan diantara beberapa karya Ibnu Si>na> ialah :
  1. Qanu>n fi> Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan) 
  2. Al-Shi>fa’ (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan) 
  3. Al-Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa. 
  4. Al-Majmu ‘ berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
  5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika 
  6. Fi> Aqsam al-Ulu>m al-Aqli>yah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian ilmu-ilmu rasional.
  7. Ila>hi>yyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika 
  8. Fi> Al-Di>n bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus" yakni tentang pemilikan (mimeral).
  9. Risa>lah fi> Asab Hudu>th al-Huru>f  : risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf - Bidang sastera arab
  10. Al-Qasi>dah al- Aniyyah , syair-syair tentang jiwa manusia - Bidang syair dan prosa
  11. Risa>lah al-Thayr : cerita seekor burung. - Cerita-cerita roman fiktif
  12. Risa>lah al-Siya>sah : (Book on Politics) – Buku tentang politik - Bidang politik
  13. Al-Manti>q, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil. 
  14. Uyu>n Al-Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan besar buku ini telah hilang.
  15. Al-Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.
  16. Al-Insyaf tentang keadilan sejati.
  17. Al-Isya>rat Wa al-Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan.
  18. Sadidiya, tentang kedokteran.
  19. Danesh Nameh, tentang filsafat.
  20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
  21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat)
Dari berbagai karya tersebut karya yang menjadi magnum opusnya  adalah Qanun fi Thib dan Asy Syifa.

3.  Penutup
•    Kesimpulan.
Ketiga filsuf ini adalah termasuk filsuf Peripatetik, karena mereka mengembangkan kerangka pemikiran Aristoteles.

Abu> Yu>suf Ya’qu>b bin Isha>q Al-Kindi, lahir di kota Ku>fah, ‘Ira>k pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi>> merupakan seorang bangsawan, gelar Al-Kindi>> dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Menurut al-Kindi> roh tidak tersusun, sederhana tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubunganya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri argumen yang dikemukakan Al-Kindi> tentang kelainan roh dan badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah. Mengenai karya yang menjadi magnum opusnya yang dihasilkan oleh bapak filosof muslim ini adalah adalah Fi> Al-Falsafah Al-U>>la>.

Al-Farabi>> adalah Abu> Nas}r Muh>ammad Al-Farabi dilahirkan di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. dididik oleh seorang dokter Kristen dan penerjemah Kristen dari Bagdad. Pemikiran dalam masalah jiwa Al-Farabi> berkonsentrasi untuk menjelaskan amal iradi (aksi volisional). Untuk itu, ia membedakan iradah dari ikhtiar. Ia berpendapat bahwa iradah dilahirkan oleh rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi. Sedangkan ikhtiar semata-mata dilahirkan oleh pemikiran dan analisa. Dalam pandangan Al-Farabi> Jiwa mempunyai daya-daya, ini seirama pendapat yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu, Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah.
 
Abu> Ali Husain Ibn Abd Alla>h Ibn Si>na>. Dilahirkan di Asfhana, suatu tempat dekatBukhara, pada tahun( 980-1073), Terdapat dua aspek yang dibahas oleh Ibnu Si>na> tentang Jiwa yaitu fisika dan metafisika. Metode eksperimen dipakai dalam segi fisika, sebagai seorang dokter dalam pembahasan fisika juga banyak dipengaruhi oleh lapangan kedokteran.  Sebagaimana Al-Farabi>, ia juga menganut faham pancaran (emanasi).

 
DAFTAR PUSTAKA

Adhahabi, Syamsuddin.Tarikhul al-Islam, juz 6. akses http://www.alwarraq.com

Al-Ahwan Alfalsafah, 63. Disarikan dari http://oephe.multiply.com/journal/item/21 2009.

Al-Farabi>, Abu Nasr. Ara'u Ahlu al-Madinah al-Fadhlîlah. Mesir: al-Maktabah al-Azhariyah Li al-Turast, tt.

------------, al-Tanbi>h ala> al-Sa’adah. tp:Haidarabah, 1946.

------------, Kitab al-Millah. Beirut: tp, 1968.

Al-Sharastani>, Al-Mila>l wa Al-Nihal juz II, diterjemah: Ashwadie Syukur. Surabaya: PT Bina Ilmu, tt.

Al-Ghazali, Madarij Al-salikin. Kairo : Thaqofah al-Islami>yah, 1964.

Al-Quzwini, Zakariya>’ bin Muh}ammad. Atsaru al-Bilad wa Akhbaru al-Ibad. Tp: Mauqi’u al-Waraq, tt akses http://www.alwarraq.com.

Armstrong,Karen. A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christiany dan Islam, diterj: Zaimul AM, “Sejarah Tuhan”. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.

Borchert Donald M. (ed.), Encyclopedia of Philosophy Second Edition, Jilid 2. Detroit: Thomson Gale, 2006.

Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1986.

De Boer. Ta>rikh al-Falsafah fi al-Isla>m, diterj: Muhammad Abd al-Hadi Abu Ridah. Mesir: Kairo, 1938.

Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Harahap, Anwarudin. Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam. Skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1981.

Hamdi, Zainul. Tujuh Filsuf Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern. Yogyakarta:  LKiS,tt.
Hitti, Philip K. History Of  The Arabs, diterj: Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

http://rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan-muslim/74-ibnu-Si>na>.html. (Posted 27-10-2010).

http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi>"( posted 10-11-2010)

Madkour,  Ibrahim. Fi> al-falsafah al-Isla>mi>yyah, diterjemah, Yudian Wahyudi. Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Munawir,Imam. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa kemasa. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1985.

Najati, Muhammad ‘Uthma>n. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, diterj: Gazi Saloom. Bandung:  Pustaka Hidayah, 2002.

Nasution,Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2004.
-------------------Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia, 1996.

------------------ Islam Rasional. Jakarta : Mizan, tt.
Qadir, C.A, Philosophy and Science in the Islamic. terj. Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Zar,Sirajuddin. Filsafat Islam.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

0 Response to "FILSUF PARIPATETIK ISLAM (Telaah Pemikiran Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina)"

Post a Comment