ULUM AL-HADIS DALAM PERBINCANGAN (STUDI SEPUTAR KEDUDUKAN HADIS DALAM HUKUM ISLAM)

Jasa Penulisan Makalah - Para ulama sepakat bahwa hadis menjadi sumber otoritatif dalam penetapan hukum Islam. ini dikuatkan oleh aspek teologis dan rasio,  yaitu; Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan akal. Dari beberapa dalil ini dalam pandangan Abdul Wahab Khalaf, Hadis harus dipatuhi dalam menetapkan hukum Islam. Di samping itu para ulama berbeda pendapat dalam penetapan hadis sebagai sumber hukum Islam, setidaknya terdapat tiga pendapat yaitu, berada di bawah Al-Qur’an, menyamai Al-Qur’an karena bersifat komplementar, dan berada di atas Al-Qur’an. Sedangkan pembagian sunnah yang ditendesikan pada Rasu>l terdapat tiga cara, yaitu Sunah Qauliyah, Sunah Fi’liyah, Sunah Taqririyah.

Secara garis besar tidaklah semua yang disandarkan kepada Nabi dapat dijadikan sumber hukum, karena tidak semua yang dilakukan dan diucapkan serta diakui Nabi berupa Hadis yang menjadi sumber hukum. Maka dari itu Hadis ada yang tasyri’ dan bukan tasyri’. Sedangkan sunah berdaya hukum secara garis besarnya mengandung tiga bidang yaitu Akidah,  Akhlak, dan Hukum-hukum amaliyah Secara garis besar hadis itu jika ditinjau dari kuantitas rawi dibagi menjadi dua bagian yaitu: hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Jika hadis mutawatir ulama sepakat untuk dijadikan sumber hukum. Sedangkan hadis Ahad dibagi menjadi tiga jika dilihat dari kualitas perawinya menjadi Sahih, Hasan, dan Dhaif. Sedangkan fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut Bayan Tafsir, Bayan Taqrir, dan Bayan Taudhih,

I.  Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hadis sebagai salah satu disiplin ilmu, dewasa ini perkembanganya di dunia akademis mencapai fase yang sangat signifikan. Indikasinya adalah banyaknya kajian ilmu hadis di kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh bidang ilmu hadis sebut saja, kedudukan hadis, kodifikasi hadis, Jarh}u-wa-ta’di>l,  kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadis klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan. Tak hanya dari kalangan orang dalam (baca: Islam), namun kajian seputar hadis telah merambah masyarakat luas. Tak ayal jika orang di luar aqidah Islam banyak mumpuni dalam bidang ini. Saja A.J. Wensinck, seorang yang sangat berjasa terhadap pemburu hadis dengan karya kamusnya yang sangat monumental, juga Ignaz Goldziher yang hafal ribuan hadis, dan beberapa tokoh yang lain. Baca juga: Filsuf Paretik Islam

Jika melihat dari fenomena ini, sungguh Hadis atau Sunnah merupakan kajian dan bidang keilmuan yang sangat berperan baik dalam tataran aqidah maupun dalam perkembangan dan keberlanjutan agama Muh}ammad (Islam). Ini dapat dilihat dari orang-orang yang diluar aqidah Islam, begitu tekun dan getol dalam mempelajari hadis, terlepas dari dampak negatif dan positif nantinya. Tidak hanya itu, Al-Qur’an sebagai rujukan penting dalam menetapkan hukum Islam, namun di satu sisi ia diturunkan dengan memakai lafal global dan tidak mudah untuk dipahami, hal ini membutuhkan satu piranti keilmuan yang solutif untuk menerapkan apa-apa yang diserukan oleh Al-Qur’an.

Ini menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakan bahwa hadis merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam memahami Al-Qur’an. Sebab bagaimanapun Muh}ammad mempunyai peran santer serta mendapat legitimasi langsung dari tuhanya untuk menjelaskan apa-apa yang belum jelas, dan menerapkan serta melarang apa-apa yang harus dilakukan. Namun hak mutlak untuk menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur’an akankah menjadikan apa yang dia ucapkan sebagai sandaran hukum?. Di satu sisi ia manusia yang butuh untuk memenuhi hasrat manusinya, maka dalam pembahasan kali akan dibahas sisi-sisi yang dapat dijadikan sandaran hukum, serta berbagai macam hadis yang tidak dapat dijadikan hukum, karena masih erat kaitanya dengan masalah teknis.

Maka dari itu sudah seyogyanya bahkan merupakan keharusan untuk mengerti dan paham posisi hadis dalam hukum Islam, terlebih bagi insan muslim yang akademis. Sebab bagaimanapun mereka representasi dari kalangan terpelajar, yang dituntut mengetahui bidang yang digelutinya.

B.  Rumusan Masalah.
1.  Bagaimana Posisi Hadis Dalam Hukum Islam?
2.  Bagaimana Dalil-dalil yang Menguatkan Kehujjah Hadis?
3.  Hadis Apa Saja yang Dapat Dijadikan Sandaran Hukum?
 
C.  Tujuan
1.  Untuk Mengetahui Posisi Hadis dalam Hukum Islam.
2.  Supaya Mengerti Dali-dali yang Menguatkan Kehujjahan Hadis.
3.  Agar Memahami Hadis-hadis yang Dapat Dijadikan Sandaran Hukum.

II.  Pembahasan
A.  Mengenal Hadis atau Sunnah
Secara terminologi Hadis  adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Rasu>l Allah, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Namun semua itu disandarkan setelah Rasu>l menjadi utusan. Sedangkan Sunnah  adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Rasu>l, baik berupa perkataan, pekerjaan  maupun ketetapan, hal itu disandarkan pada Rasu>l baik sebelum mendapat risalah, maupun setelah mendapatkan misi tersebut. Dari sini Sunnah lebih umum dari Hadis, hanya saja sebagaian Ulama Hadis menganggap kedua lafal tersebut sinonim. Sedangkan menurut Ulama Ushul jika terdapat pembahasan Hadis yang dimaksud adalah sunnah qawliyah, sebab bagi mereka sunnah lebih umum dari pada hadis .
 
Secara tegas dikatakan dalam pembahasan kali ini mengikuti pendapat sebagian Ulama yang berpendapat bahwa antara kedua lafal tersebut sinonim. Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an menjadi pondasi dan dasar terhadap penerapan hukum Islam. Ini dikarenakan Al-Qur’an produk yang dihasilkan Allah yang diturunkan pada Muh}ammad via Jibril, dan membacanya termasuk kegiatan ibadah. Sedangkan segala sesuatu yang datang dari Rasu>l Alla>h selain Al-Qur’an, yang menjelaskan terhadap shari>’ah, menjelaskan terhadap isi kandungan Al-Qur’an, serta sistem penerapanya adalah hadis.

B.  Dalil-Dalil Kehujjahan Sunnah.
Para ulama sepakat seperti yang dikutip oleh Agus Solahudin  bahwa Hadis atau Sunnah merupakan salah satu sumber dalam menetapkan hukum Islam, pendapat ini mereka kuatkan baik dari aspek teologis mapun rasio, yaitu sebagai berikut:
 
1.  Al-Qur’an
Diantara beberapa ayat Al-Qur’an yang dijadikan tendensi oleh para ulama terhadap kehujjahan Sunnah yaitu:

  وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا۟

Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.  (Q.S. Al-H}asr: 07

مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّـهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
 
Barangsiapa yang mentaati Rasu>l itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka(An-Nisa: 80)

لَّا تَجْعَلُوا۟ دُعَآءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضِكُم بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّـهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
  
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasu>l diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (An-Nur: 63) 

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْءَاخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasu>l Alla>h itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21)

قُلْ أَطِيعُوا۟ اللَّـهَ وَالرَّسُولَ

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasu>l-Nya(Ali ‘Imran: 32)

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ اللَّـهَ وَأَطِيعُوا۟ الرَّسُولَ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasu>l (nya), (Q.S. An-Nisa’: 59)

‘Abd al-Wahha>b Khalaf menegaskan dari beberapa ayat di atas sebagai bukti bahwa pembentukan hukum oleh Rasu>l Alla>h SAW, adalah pembentukan hukum Shari’ah oleh tuhan yang harus dipatuhi.
 
2.  Al-Sunnah. 

تركت فيكم امرين لن تضلواابدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
(H.R. Hakim dari Abu Hurairah).

“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-Rasidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kalian semua denganya….(H. R. Abu Daud)

“Sesungguhnya pada saya telah diturunkan Al-Qur’an dan yang semisalnya, (H.R. al-Bukhari dan Muslim)  .

وروي عن مسعود من عرض له منكم قضاء فليقض بما في كتاب الله فاٍن جاءه ما ليس في كتاب الله وكان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم به

 
“Diriwayatkan dari Mas’ud; barangsiapa dihadapkan kepadanya suatu perkara hukum, maka hendaknya dia memutuskan hukum itu dengan berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’an). Kalau perkara itu tidak didapatkan (pembahasanya) di dalam Al-Qur’an, tetapi ada di dalam hadis Rasu>l Alla>h, maka hendaknya dia memutuskan hukum berdasarkan hadis Nabi itu.”

3.  Ijma’
 
Posisi hadis sebagai sumber hukum Islam tidak hanya dikuatkan oleh dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun ia juga dikuatkan oleh Ijma’. Yaitu para ulama sepakat bahwa hadis sebagai salah satu sumber penetapan hukum Islam. Di samping itu, penerimaan mereka terhadap hadis sebagaimana penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an. Kesepakatan yang dilakukan oleh mereka banyak bertendensi pada Al-Qur’an dan hadis sebagaimana keterangan yang telah lampau. Kontruksi pemikiran yang berkembang dikalangan ulama meyakini bahwa segala sesuatu yang diwahyukan Allah kepada nabi mengandung hidayah bagi pengikutnya, dan dapat memperbaiki mereka, serta sebagai jalan keselamatan baik di dunia maupun akhirat .
 
Dengan pertimbangan bahwa Al-Qur’an menjadi rujukan utama dalam penetapan hukum Islam, ternyata di sisi lain terdapat banyak ayat yang menyerukan untuk taat terhadap Rasu>l. Dan di samping itu dalam salah satu ayat menyatakan:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰٓ, إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
 
4.  Akal.

Posisi Hadis menjadi salah satu dari sumber hukum Islam, dukunganya tidak hanya datang dari Al-Qur’an, Hadis atau Sunnah, dan Ijma’. Ia juga menurut Wahbah Zuhaili> didukung oleh akal (rasio), dengan rasionalisasi bahwa Allah memerintah Rasu>lnya untuk menyampaikan risalahnya dan mengikuti wahyunya, serta menyampaikan wahyunya dengan cara membacakan  dan menjelaskanya. Terdapat banyak dalil yang menunjukan terhadap ke maksuman Rasu>l dari salah dan lupa, serta terjaga dari berbuat dosa. Maka dari itu dapat dipahami bahwa shari’ah itu adalah Al-Qur’an dan perkataan-perkataan Nabi Muh}ammad saw .
 
Wahbah Zuhaili> “juga menegaskan bahwa andai saja Sunnah tidak menjadi dasar dalam menetapkan hukum niscaya beberapa kewajiban yang termaktub dalam Al-Qur’an tidak dapat diterapkan. Mengingat Al-Qur’an diturunkan dengan memakai lafal yang global dan universal”.  Maka inilah peran terpenting nabi sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut.

C. Posisi Hadis sebagai Sumber Hukum Islam.
Posisi hadis sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama masih diperselisihkan. Setidaknya terdapat tiga pendapat yang berkembang antara menempati posisi pertama, kedua, dan tidak bisa dipisahkan dengan Al-Qur’an. Dalam pembahasan ini akan dibahas terkait beberapa perbedaan tersebut.
 
Banyak dikalangan Ulama sebagaimana dikutip oleh Djazuli , berpendapat bahwa hadis merupakan sumber kedua dalam hukum Islam setelah Al-Qur’an, salah satu yang dijadikan pedoman oleh mereka adalah hadis Muadh bin jabal  yang di utus nabi ke Yaman, juga beberapa rasionalisai yang dikembangkan oleh mereka antara lain adalah:
  1. Wuru>du Al-Qur’an qat}’i seluruhnya, sedangkan wurudl¬-nya sunnah banyak yang z}anni>. 
  2. Hadis atau Sunnah merupakan penjelas bagi Al-Qur’an, maka jelas saja jika yang dijelaskan lebih utama dari yang menjelaskan 
  3. Para sahabat dalam menetapkan hukum, menjadikan Sunnah pada posisi yang kedua .
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Hadis menempati posisi pertama sebagai sumber hukum Islam, argumentasi yang dipakai mereka sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman Djamil antara lain adalah:
1. Bahwa Al-Qur’an yang bersifat mujmal itu memerlukan penjelasan dari al-Sunnah, sehingga “kata akhir” berada pada al-Sunnah, bukan pada Al-Qur’an. Misalnya, ayat Al-Qur’an mengenai hukuman bagi pencuri menentukan hukuman potong tangan bagi setiap pencuri, siapa pun dan dalam kondisi bagaimana pun. Tetapi al-Sunnah menjabarkan lebih lanjut, bahwa pencuri yang harus dipotong tanganya itu apabila ia mencuri milik orang lain dengan jumlah tertentu. Kurang dari itu tidak dikenakan hukuman potong tangan.

2. Ada beberapa ayat Al-Qur’an  yang mempunyai ganda (muhtamil). Dalam hal ini al-Sunnah memberikan alternatifnya . Secara tegas kelompok ini mengatakan bahwa sunnah sangat berperan terhadap eksistensi keberlangsungan hukum Islam, dari itu mereka menempatkan Sunah pada posisi pertama.

Namun terlepas dari dua pendapat yang bertentang pendapat moderat diutarakan oleh Ibnu H}azm, sebagaimana dikutip oleh ‘Ujaj, berpendapat bahwa wahyu ada dua yaitu wahyu matlu>, dan wahyu marwi>. Wahyu pertama adalah Al-Qur’an sedangkan yang kedua adalah hadis. Berangkat dari pendapat ini, Ibnu Qayyim al-Jauzi>yah dengan bertendensi pada QS. An-Nahl: 44, bahwa “antara Al-Qur’an dan Hadis merupakan  dua sumber hukum Islam yang mutlak serta tidak dapat dipisahkan” .

Muh}ammad Abu Shahban sebagaimana menukil dari pendapat para Ulama yang mumpuni keilmuanya, bahwa Sunnah itu dapat dijadikan hujjah atau tendensi hukum sama saja ia sebagai penjelas dari Al-Qur’an maupun ia berdiri sendiri. Pendapat ini sejalan dengan Imam Saukani bahwa sunnah dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum, merupakan keniscayaan dalam agama .

Sejalan dengan pendapat di atas, Agus Solahuddin dalam bukunya, Ulumul Hadis, berpendapat bahwa “hadis merupakan salah satu sumber dalam menetapkan hukum Islam, ia juga menjadi penjelas dari pada Al-Qur’an. Dari posisi ini tak heran jika ia mengatakan bahwa hadis menjadi salah satu hal penting dalam memahami dan menerapkan kandungan dan isi Al-Qur’an, sebaliknya seorang juga tidak dapat memahami hadis tanpa terlebih dahulu memahami Al-Qur’an”.   Untuk menguatkan pendapatnya ia merujuk pada dua sumber, yakni Al-Qur’an dan Hadis.  Melihat argumentasi yang dipakai oleh kelompok terakhir, bahwa mereka tidak mempermasalahkan posisi tempat Sunah sebagai sumber hukum, yang jelas dalam pandangan mereka bahwa Sunah sebagai salah satu sumber hukum adalah sebuah kepastian.

D. Sunnah Yang Dijadikan Sandaran Hukum.
Kualitas Hadis tidaklah sama, ini mempunyai konsekuensi bahwa tidak semua hadis dapat dijadikan sumber penetapan hukum. Maka dari itu akan dijelaskan berbagai macam tingkatan hadis sehingga dapat dikerucutkan model dan tingkatan hadis yang dapa dijadikan sandaran hukum.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa macam sunnah yang ditendesikan pada Rasu>l terdapat tiga cara, yaitu Sunah Qauli>yah, Sunah Fi’li>yah, Sunah Taqri>ri>yah. Dari tiga tendensi ini juga tidak semua apa yang diucapakan, dikerjakan, dan diakui Nabi menjadi sumber hukum dan bentuk dari Hadis. Semisal, Al-Qur’an disampaikan oleh Nabi kepada kaumnya melalui lisan, hal ini sebagai legitimasi bahwa tidak semua yang disampaikan nabi adalah Hadis. sedangkan untuk membedakan antara Ayat Al-Qur’an dan Hadis pada waktu disampaikan Amir Syarifuddin membedakanya menjadi banyak perbedaan antara lain:
  1. Jika yang diucapkan oleh nabi Al-Qur’an maka ia menyuruh sahabatnya untuk menghafal dan menuliskanya, serta mengurutkanya sesuai petunjuk Allah. Sedangkan jika yang diucapkan hadis maka sebaliknya. 
  2. Penukilan Al-Qur’an selalu mutawatir, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Sedangkan hadis dalam bentuk mutawatir hanya sebagian saja. 
  3. Penukilan Al-Qur’an selalu dalam bentuk penukilan lafaz}, yaitu sesuai dengan yang diucapkan nabi. Sedangkan Sunnah banyak dinukil secara ma’nawi>. 
  4. Bila yang diucapkan nabi adalah Al-Qur’an maka ia mempunyai daya pesona atau mukjizat yang gemilang. Namun tidak sedemikian pada hadis .
Hal sedemikian juga terjadi pada tataran aplikatif (Sunah Fi’li>yah), ulama masih terjadi perselisihan pendapat tentang apakah semua pekerjaan Nabi dapat dijadikan sumber hukum?. Semisal aktifitas-aktifitas beliau sebagai seorang manusia, seperti cara berpakaian, minum, makan, tidur, memelihara jenggot, dan segala sesuatu yang manusiawi. Perbuatan seperti ini sebagaimana yang dinukil oleh Amir Syarifuddin terdapat dua pendapat, yaitu “yang satu mengatakan  menjadi dan mempunyai kekuatan hukum, meskipun sebatas sunnah. Sedang menurut yang lain tidak mempunyai kekuatan hukum”.
   
Di samping itu terdapat banyak perbuatan nabi yang tidak dapat dijadikan sumber hukum seperti wajib bagi beliau shalat witir, d}uha>, dan berkurban, serta shalat tahajjud. Perbuatan ini tidak wajib dilakukan oleh ummatnya.  Juga terdapat pekerjaan yang dikhususkan pada nabi dan haram diikuti oleh ummatnya. Semisal nikah melebihi dari empat dan nabi masuk Makah tanpa ihram.

Kriteria sandaran ketiga adalah bentuk pengakuan nabi. Sebagaimana di atas tidak semua keadaan diamnya nabi dapat dijadikan sumber hukum. Seperti suatu perbuatan yang pernah dilarang  dan dibenci oleh nabi, suatu ketika terdapat seorang yang melakukanya ketika itu nabi diam, tidak memberikan respon apa-apa. Diamnya nabi disini tidaklah menunjukan perbuatan tersebut boleh dilakukan.

Di samping tiga aspek di atas, Agus Solahudin dengan menukil dari pendapat ulama teradahulu mengatakan,  bahwa terdapat aspek lain yang dapat dikatan Hadis yaitu, Hadis H}ammi>, yakni keinginan Nabi SWA, yang belum terealisasi. Sebagaimana nabi ingin berpuasa pada tanggal 9 Ashura’, sebelum terealisasi beliau sudah mangkat menghadap tuhan. Menerapkan dan  melakukan hadis ini menurut Al-Shafi’i> dianggap sunah hukum mengerjakanya .

Secara garis besarnya tidaklah semua yang disandarkan kepada Nabi dapat dijadikan sumber hukum, karena tidak semua yang dilakukan dan diucapkan serta diakui Nabi berupa Hadis yang menjadi sumber hukum. Maka dari itu Sunah atau Hadis ada yang tashri>’ dan bukan tashri>’.
Amir Syarifuddin  membagi Sunah berdaya hukum secara garis besarnya mengandung tiga bidang yaitu sebagai berikut:

1. Akidah
Bidang akidah dibatasi oleh Islam dalam hal perbedaan antara iman dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifatnya para Rasu>l, wahyu, dan hari kiamat. Sunnah tidak dapat menetapkan dasar akidah karena akidah menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti

2. Akhlak
Dalam sunah hadis banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam bentuk terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji, atau celaan terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa dan pandangan yang wajar.

3.    Hukum-hukum amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadah, pengaturan muamalah antar manusia, memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, menyelesaikan persengketaan di antara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari Sunnah dalam bentuk inilah, yang disebut fiqh sunah; sedangkan hadisnya sendiri disebut hadis ahkam, hadis-hadis dalam bentuk inilah yang dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an. Dari situlah mereka meng-istinbath-kan hukum dan mencari penjelasan tentang petunjuk-petunjuk Al-Qur’an yang menyangkut hukum.

E. Produk Hadis Sebagai Sumber Hukum.
Secara garis besar hadis itu jika ditinjau dari kuantitas rawi dibagi menjadi dua bagian yaitu: hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Jika hadis mutawatir ulama sepakat untuk dijadikan sumber hukum. Sedangkan hadis Ahad Ulama masih memilah dan memilih terkait kualitas hadis tersebut. Sedangkan hadis Ahad dibagi menjadi tiga jika dilihat dari kualitas perawinya menjadi S}ahi>h, Hasan, dan Da’if.

Hadis Mutawatir semua ulama sepakat menjadikan hadis ini sebagai hujjah atau sumber hukum. Sedangkan hadis Ahad, jika meninjau kualitas rawinya masih diperselisihkan sebagai sumber hukum Islam. menurut beberapa Imam sebagaimana dikutip oleh Muh}ammad Jamaluddin Al-Qasimi> , bahwa hadis H}asan  dapat dijadikan tendensi dalam menetapkan hukum, karena menurut pendapat mereka sebagaimana hadis Sahih dalam aspek diterimanya sebagai hujjah. Meskipun tingkatanya berada di bawah hadis Sahih.

Menurut Agus Solahudin , Hadis-hadis yang dapat dijadikan hujjah sebagaimana berkembang dikalangan muhadditsin, adalah hadis maqbul, yaitu meliputi hadis Sahih, baik li dzatihi mapun sahih li gahirihi. Juga hadis Hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi. Sedangkan Hadis yang tidak dijadikan sandaran hukum atau hujjah dikenal dengan istilah hadis mardud yaitu segalam macam hadis dhaif dengan segala pembagianya, hal ini karena hadis mardud terdapat cela baik dalam segi matanya maupun kualitas yang terdapat pada sanadnya.

Sedangkan tentang hadis dhaif sebagaimana pendapat Imam Nawawi dalam Tadrib al-Rawi yang dikutip oleh Idrus Ramli, menegaskan bahwa Menurut ahli hadis dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.

Sejalan dengan apa yang dikatan Imam Nawawi ini adalah pendapat seluruh ahli hadis dan selain mereka. Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya mengamalkan hadits-hadits dha'if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu, mau'izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya. Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid'ah tidak ada seorang pun ulama yang melarang mengamalkan hadits dha'if, dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan sejenisnya .

F. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an.
Dalam hirarki penetapan sumber hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat mengenai posisi hadis, apakah hadis menempati posisi kedua atau malah sebaliknya pertama. Atau juga antara hadis dan Al-Qur’an sama kedudukanya. Namun dalam banyak pendapat hadis menempati sumber kedua, sebagaimana hadis tentang Ibnu Mas’ud yang menyebutkan Al-Qur’an pada urutan pertama. Maka dalam hal ini merupakan sebuah keniscayaan untuk menjelaskan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an, mengingat penjelasan dalam Al-Qur’an bersifat global. Sedangkan fungsi Hadis atau Sunnah terhadap Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :

a) Baya>n Tafsi>r,
adalah memerinci ayat-ayat yang mujmal dan mengkhususkan yang umum . Dan Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” hadis ini merupakan tafsiran dari pada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”. Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja”.

b)    Baya>n Taqri>r,
Adalah menguatkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, dan tak jarang hadis menambahkan penjelasan Al-Qur’an. Semisal tentang Lian yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an, kemudian hadis menyebutkan wajibnya bercerai antara suami istri yang melakukan Lian . Juga hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihi wa afthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

c)    Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut .

Di samping fungsi hadis yang terdapat di atas, di sisi lain hadis mempunyai peran sendiri dalam menetapkan hukum sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh H. A. Djazuli, tentang keharaman memadu seorang wanita dengan bibinya, dan haramnya memamakan binatang bertaring.


1. Penutup.
Kesimpulan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan di atas bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang mutlak, yakni tidak terdapat satupun ulama yang menantang tentang kehujjan hadis. terlepas ia berada setelah Al-Qur’an sebab disatu sisi terdapat ulama yang menyamakan antara hadis dan Al-Qur’an yakni Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari pada hadis bagitupun sebaliknya.

Dalil yang dijadikan pijakan oleh ulama dalam menetapkan hadis sebagai sumber hukum, terdapat tiga bagian yaitu, Al-Qur’an, Hadis, dan Ijma. Namun Wahbah Zuhaili menambah yaitu dengan memakai (Rasio). Sedangkan terkait hadis yang dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum adalah. Hadis mutawatir, hadis ini tidak terdapat pertentangan. Juga hadis Sahih dan Hadis Hasan. Untuk masalah Hadis Dhaif para ulama sepakat untuk dijadikan hujjah atau sandaran hukum, namun sebatas fadha'il al-a'mal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kha>tib, M. ‘Ujaj. Ushul Al-Hadits. Beirut: Da>r Al-Fikr, 1989.
Al-Qasimi>, Muh}ammad Jamaluddin. Qawa>idu Al-Tahdi>s, min Fununi Must}ala al-Hadi>s. t,tp, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1353 H.
Al-Suyut}}}i>, Al-Ja>mi’ Al-S}aghi>r. Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.
Daud, Abu> Sunan Abu> Daud. Ushu>l Al-Hadi>s. diterj Qodirun Nur dan Ahmad Msyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.
Djamil, Fathurrahman , Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Djazuli,H.A. Ilmu Fiqih,Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
http://santrimudimesra.blogspot.com/2010/03hukum-mengamalkan-hadis-dhaif.html
Khalaf,Abdul Wahhab, Ilmu Ushulul Fiqh, diterj, Noer Iskandar, “Kaidah-Kaidah Hukum Islam”.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Muh}ammad, Hasan Al-Taqri>ratu Al-Sanni>yah. Pasuruan: PP Sidogiri, tt.
Shahbah, Muh}}ammad Abu>, Fi> Rahab al-Sunnah al-Kutub al-S}ihhah al-Sittah. t, tp,  1969.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, 1. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Solahudin, Agus ,Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh al-Islami, jilid 1. Beirut: Da>r Al-Fikr, 1986.
______________, Al-Waji>z, Fi> Us}u>l al-Fiqh. Beirut: Darl Al-Fikr, 2007.

0 Response to "ULUM AL-HADIS DALAM PERBINCANGAN (STUDI SEPUTAR KEDUDUKAN HADIS DALAM HUKUM ISLAM)"

Post a Comment