Jasa Penulisan Makalah - Secara harfiah hulul
berarti tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang
telah dapat melenyapkan sifat- sifat kemanusiaannya melalui fana.[1]
Menurut keterangan Abu Nasr al- Tusi dalam al- Luma’ sebagai dikutip Harun
Nasution, adalah paham yang mengatakan mengambil otempat di dalam setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks arab pernyataan
itu berbunyi:
اِنَّ اللهَ اَصْطَفَى
اَجْسَامًا حَلَّ فِيْهَا بِمَعَانِى الرُّبُوْبِيَّةِ وَاَزَالَ عَنْهَا مَعَانِى
الْبَشَرِيَّةِ
“sesungguhnya Allah memilih jasad- jasad
(tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan
sifat- sifat kemanusiaan”.
![]() |
Al-Hallaj al-Asrar |
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada
diri manusia ini, bertolak pada pemikiran al- Hallaj yang mengatakan bahwa pada
diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam
bukunya bernama al- thawasin.[2]
Sebelum Tuhan
menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesedian-Nya itu
terjadi dialog antara Tuhan dan diri-Nya, yaitu dialog didalamnya tidak
terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan
kentinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan ia pun cinta pada zat-Nya
sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab
wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada
bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk kopi ini
adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memulihkan dan
mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam
bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat- sifat yang
dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri. Baca juga : Hubungan antara agama dan negara.
Dengan cara demikian
maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari
ayat yang berbunyi,
øŒÎ)ur $oYù=è%
Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#r߉àfó™$#
tPyŠKy (#ÿr߉yf|¡sù
HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î)
4’n1r& uŽy9õ3tFó™$#ur
tb%x.ur z`ÏB
šúïÍÏÿ»s3ø9$# (البقرة ٣٤)
Dan
ingatlah ketika kami berkata kepada malaikat: “Sujudlah kepada Adam”, semuanya
sujud kecuali Iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya.
(QS. Al- Baqara, 2: 34).
Menurut al-
Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Nabi
Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia
menjelma pada diri Isa as.
Paham bahwa Allah
menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dengan isyarat yang
terdapat dalam hadist yang berbunyi:
اِنَّ اللهَ خَلَقَ اَدَمَ
عَلَى صُوْرَتِهِ
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan
bentuk-Nya”.
Dengan melihat
ayat dan hadist tersebut, al- Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan
dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu
dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri tuhan maka terjadi hulul. Untuk
sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-
sifat kemanusiaannya melalui proses al- Fana sebagaimana telah disebutkan di
atas.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka al- Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana
manusia dan tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya
istilah lain dari al- ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas. Tujuan dari
hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa
al- Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insane (nasut), dan
hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam
menempuh perjalanan hidup kebatinan.[3]
a. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL- HULUL
Sebagaiman telah
disebutkan diatas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al- Hulul adalah al-
Hallaj. Nama yang lengkap adalah Husein bin Mansur al- Hallaj. Ia lahir tahun
244 H. (858 M.) di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di
Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16
tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal,
bernama Sahl bin Abdullah al- Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat
ke Bashrah dan belajar pada seorang Sufi bernama Amr al- Makki, dan pada tahun
264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al- Junaid yang juga seorang
Sufi.[4]
Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan
riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan
tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam. Baca juga: Tokoh-tokoh Geometri Dunia.
Dalam perjalanan
hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulamak
fiqih. Pandangan- pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan
dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulamak fiqh bernama Ibn Daud al-
Isfahani mengeluarkan fatwah untuk membentah dan memberantas pahamnya. Al-
Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang
hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwah yang menyesatkan yang
dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap al- Hallaj,
sehingga al- Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam
penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan sifir penjara.
Dari Baghdad ia
melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah
bersembunyi empat tahun lama di kota itu, dan tetap tidak mengubah
pendiriannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama
delapan tahun lamanya. Lamanya di penjara ini tidak menyebabkan ia luntur
pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H. (921 M.) diadakan persidangan ulama’
dibawah kawasan Kerajaan Bani Abbas, Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya
pada tanggal 18 Zulkaidah tahun 309 H. (921 M.) al- Hallaj dijatuhi hukuman
mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu
disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan
ditinggalkan tergantung bagian- bagian tubuh itu di pintu depan kota Baghdad,
dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama’ lainnya yang berbeda
pendirian. Arberry lebih lanjut melukiskan pembunuhan al- Hallaj ini sebagai
berikut.
“Tatkala dibawa untuk disalib, dan
melihat tiang salib serta paku- pakunya, ia menoleh kearah orang- orang seraya
berdoa, yang diakhiri dengan kata- kata: “Dan hamba- hamba-Mu yang bersama-
sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah
mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Kerena sesungguhnya, sekiranya telah
Ku-anugerahkan kepada mereka yang telah Kau-anugerahkan kepadaku, tentu mereka
takkan melakukan yang mereka lakukan. Dan bila kusembunyikan dari diriku yang
telah Kau-sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maka
Agung Engkau dalam segala yang Kau-lakukan, dan Maha Agung Engkau dalam segala
yang Kau-kehendaki.”[5]
Maslah al- Hallaj
dihukum bunuh sudah disepakati bersama, namun bagaimana proses pembunuhannya
dengan disalib sebagaimana digambarkan Arberry tersebut di atas, masih perlu
dipersoalkan, karena kalau memang demikian betapa kejamnya para penyiksa itu,
dan mengapa ia dengan tega melakukan demikian, sebagaimana kaum Bani Israil
menyiksa Yesus Kristus (Yudas Iskareot). Yang dapat diterima tampaknya versi
pembunuhan yang digambarkan oleh Hamka tersebut diatas.
Mengenai sebab-
sebab dibunuhnya al- Hallaj sehingga sampai sekarang masih controversial. Jika
kebanyakan mengemukakan sebab- sebab dibunuhnya al- Hallaj karena perbedaan
paham dangan paham yang dianut ulama’ fiqih yang dilindungi oleh pemerintah,
maka hal ini masih juga dipertanyakan. Orang menanyakan jika al- Hallaj dibunuh
karena perbedaan paham dengan paham yang dianut oleh ulama’ fiqih, mengapa Sufi
yang lainnya sebagaiman Zun al-Nun al-Mishri, Ibn Arabi dan lainnya tidak
dibunuh.
Versi lain yang
diberikan Harun Nasution, tampaknya perlu dipertimbangkan. Menurutnya, al-
Hallaj dituduh punya hubungan dengan gerakan Qaramitah, yaitu satu sekte Syi’ah
yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di akhir abad XI M. Sekte ini mempunyai
paham komunis (harta benda dan perempuan terdiri dari kaum petani milik
bersama) mengadakan terror, menyerang Mekkah di tahun 930 M merampas hajar
aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi di tahun 951 M dan menentang Bani
Abbas, mulai dari abad X sampai abad XI M.[6]
Jika yang dituduh ini memang benar adanya, al- Hallaj secara politis dan
ideologis memang salah dan patut dihukum, tetapi jika hal ini hanya dituduh
belaka, maka masalahnya jadi lain. Siapakah yang benar diantara merekah, apakah
al- Hallaj yang dihukum atau mereka yang menghukum,pengadilan akhiratlah yang
kelah mengadili mereka secara bijaksana dan objektif.
Selanjutnya untuk
menempatkan al- Hallaj sebagai pembawa paham al- Hulul, dapat dipahami dari
beberapa pernyataannya dibawah ini.
مُزِجَتْ رُوْحُكَ فِى رُوْحِى
كَمَا تُمْزَجُ الْخَمْرَةُ بِالْمَاءِ لِزُلَالِ فَاِذَا امَسَّكَ شَيْءٌ
مَسَّنِى فَاِذًا اَنْتَ اَنَا فِى كُلِّ حَالٍ
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana
anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau,
ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.”
اَنَا مَنْ اَهْوَى وَمَنْ
اَهْوَى اَنَا نَحْنُ رُوْحَانِ حَلَلْنَا بَدَنَا فُاِذَا اَبْصَرْتَنِى
اَبْصَرْتَهُ وَاِذَا اَبْصَرْتَهُ اَبْصَرْتَنَا
“Aku adalah Dia dan kucintai dan Dia
yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh,
jika engkau lihat engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat
kami.”
Dalam paham al-
Hulul yang dikemukakan al- Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat.
Pertama, bahwa paham al- Hulul merupakan pengembangan atau bentuk dari paham
Mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al- Adawiyah. Hal ini terlihat
adanya kedua kata- kata cinta yang dikemukakan al- Hallaj. Kedua, al- Hullul
juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun
Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al- Hallaj melalui al-
Hulul, dengan kesatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam al- ittihad. Dalam
persatuan melalui al- Hulul ini, al- Hallaj kelihatanya tak hilang, sebagai
halnya dengan diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur
dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al- Hallaj, dirinya tak hancur
sebagai ternyata dari ungkapan syairnya diatas.
Perbedaan antara
ittihad al- Bustami dengan hulul al- Hallaj, dalam ittihad yang dilihat satu
wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dalam syair yang
dinyatakan al- Hallaj berikut ini.
اَنَا سِرُّ الْحَقِّ مَا
الْحَقُّ اَنَا بَلْ اَنَا حَقٌّ فَفَرِقْ بَيْنَنَا
“Aku adalah rahasia Yang Maha Besar, dan
bukanlah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka hendaklah
antara kami.”
Dengan ungkapan al- Hallaj yang demikian itu, kita
dapat menilai, bahwa pada saat al- Hallaj mengatakan ana al- haqq sebenarnya bukanlah roh al- Hallaj yang mengucapkan
demikian, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al- Hallaj.
[1] A.
Qadir Mahmud, hlm.337.
[2] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet.III, hal.88.
[3]
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, (Jakarta: Puastaka Panjimas, 1984), cet.XI, hal.120.
[4] Ibid., hal.119.
[5] A.J.
Arberry, Pasang-Surut Aliran Tasawuf,
(terj.) Haidar Bagir dari judul asli Sufism:
An Account of the Mystic of Islam, (Bandung: Mizan, 1985),cet.I. hlm.77.
[6] Harun
Nasution, op. cit., hlm.89.
0 Response to "PENGERTIAN, TUJUAN DAN KEDUDUKAN AL- HULUL"
Post a Comment