Tafsir Hukum Islam Larangan Membujang

Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasangan. Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebih mulia dari makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya aturan dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan kelebihan derajat yang namanya makhluk menusia dibanding dengan jenis makhluk lainnya.

Fakta ironi terjadi di masyarakat ketika banyak kaum laki-laki dan perempuan yang tidak bisa menikmati hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini disebabkan oleh banyak keluarga yang mempersulit dan merintangi kelancaran jalannya pernikahan dengan macam-macam beban yang memberatkan banyak laki-laki dan perempuan sehingga mereka akhirnya menderita pembujangan dan tekanan kehidupan , terjun ke alam hubungan tercela antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan deskripsi singkat diatas, terdapat rumusan masalah yang akan dibahas:
1.    Bagaimana pandangan al-Qur’an tentang membujang ?
2.    Bagaimana hukum membujang menurut al-Qur’an?
3.    Apa hikmah pelarangan membujang?

Membujang

BAB II
PERKAWINAN DALAM AL-QUR’AN

A.    ANJURAN MENIKAH DALAM AL-QUR’AN
1.    Surat al-Furqan : 54 (Surat Makiyah)
Artinya :
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”.

2.    Surat al-Rum :21 (Surat Makiyah)
Artinya :
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

3.    Surat al-Dzariat :49  (Surat Makiyah)
Artinya :
“dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.

4.    Surat al-Ra’du: 38 (Surat Makiyah )
Artinya :
“dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”.

5.    Surat Ya>sin : 36 (Surat Makiyah)
Artinya:
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

6.    Surat al-Nahl :72  (Surat Makiyah)
Artinya :
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah”.

7.    Surat al-Nisa : 1 (Surat Madaniyah)
Artinya :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

8.    Surat al-Nur : 32 (Surat Madaniyah)
Artinya :
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.

9.     Surat al-Nur : 33
Artinya :
“dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”

10.    Surat al-Hujurat :13 ( Surat Madaniyah )
|Artinya :
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

11.    Hadis tentang anjuran menikah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ بِمِنًى، فَخَلَا بِهِ عُثْمَانُ فَجَلَسْتُ قَرِيبًا مِنْهُ، فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ: هَلْ لَكَ أَنْ أُزَوِّجَكَ جَارِيَةً بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مِنْ نَفْسِكَ بَعْضَ مَا قَدْ مَضَى؟ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللَّهِ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ سِوَى هَذَا، أَشَارَ إِلَيَّ بِيَدِهِ، فَجِئْتُ وَهُوَ يَقُولُ: لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ، لَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
Artinya :
“…Rasulullah SAW bersabda,”Wahai golongan pemuda, siapa mampu dari kalian menikah maka menikahlah. sesungguhnya menikah itu dapat memejamkan mata (tidak jelalatan) dan menjaga baiknya farji. Barang siapa belum mampu maka berpuasalah. Maka sesungguhnya puasa dapat menjadi perisai /benteng (dari perbuatan maksiat)”. (HR. Ibnu Majah)

1846 – حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ قَالَ: حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ: حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ»
Artinya :
“…Aisah meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda,”Menikah adalah sebagian dari sunahku, barang siapa tidak mengamalkan sunahku maka bukan termasuk golonganku, maka menikahlah, sesungguhnya aku adalah orang yang memperbanyak umat diantara kamu sekalian. Barangsiapa mampu maka menikahlah, barangsiapa belum mempunyai kemampuan maka berpuasalah. Maka sesungguhnya puasa itu sebagai perisai”.

B.    HUKUM MEMBUJANG DALAM AL-QUR’AN
1.    Ditinjau dari sebab Nuzu>l
Secara eksplisit tidak ada z{ahir ayat yang menjelaskan larangan seseorang membujang. Namun demikian jika ditinjau dari sabab nuzu>l ayat, terdapat ayat dalam surat al-Maidah yang berbicara soal membujang. Adapun bunyi ayat Surat al-Maidah ayat:87 (Surat Madaniyah), adalah sebagai berikut:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Tafsir Mufrodat :

T{ayyiba>t     : Kesenangan dan kelezatan yang membangkitkan syahwat dan menyondongkan hati.

Tuharrimu>   : Mengharamkan makanan dan minuman yang lezat, serta mengharamkan perempuan (kawin).
Ta’tadu>        :  Melampaui ketentuan Allah dengan cara mengharamkan apa yang telah dihalalkan dan sebaliknya.

Sabab nuzu>l ayat ini berkenaan dengan para sahabat nabi yang telah bersepakat untuk mengebiri diri (melakukan steril) dan akan menjauhi persenggamaan dengan istri, tidak akan makan daging, dan tidak akan makan kecuali sekedar penguat badan saja, serta tidak akan menggunakan pakaian awam. Mereka bertekad untuk mengadakan dakwah keliling ke seluruh dunia sebagaimana yang dilakukan oleh para rahib (pendeta). Di anatara mereka itu terdapat Abu Bakar shidiq, umar bin khattab, ali bin Abi thalib, utsman bin ma’dzun, ibnu mas’ud,  miqdad bin Aswad,  dan salim budak hudzaifah yang telah dimerdekakan. Sehubungan dengan tekad para sahabat tersebut Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai larangan tegas mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah sekalipun dengan alasan untuk meluhurkan agama. (HR. Ibnu Asakir dalam kitab tarikhnya dari suddi dari kalabi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas). 

    Ayat ini juga mengisahkan seorang sahabat bernama utsman bin ma’dzun yang mana dia mengharamkan dirinya untuk makan daging. Dia mengambil pisau ingin memotong alat fitalnya (zakar) agar syahwatnya terhadap wanita terputus, sehingga dia bisa menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah SWT. Maka dengan peristiwa itulah turun ayat 87 surat al-Maidah sebagai ketegasan larangan mengharamkan sesuatu yang dihalakan oleh Allah SWT.

2.    Tafsir Ayat
Setelah menjelaskan riwayat tentang sebab turunnya ayat 87 surat al-Maidah ini, sayyid qut{b dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dilihat dari khus{u>s as-Saba>b nya, dalam ayat ini Allah ingin menjelaskan bahwa apa yang dihalalkan-Nya adalah baik dan apa yang diharamkan-Nya adalah buruk. Demikian pula terdapat dua poin penting yang perlu dimengerti: Pertama, menghalalkan dan mengharamkan itu adalah hak Allah semata, sehingga barang siapa melanggar ketentuan itu maka dia telah melampaui tindakan melampaui batas yang tidak disukai Allah.  Kedua, Allah menghalalkan yang baik-baik bagi manusia, demi kemaslahatannya sehingga tidak diperkenankan mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah. 

Ayat ini juga menentang tindak kerahiban karena perbuatan ini dinilai merusak fitrah, menyia-nyiakan potensi, dan menghambat perkembangan hidup yang diinginkan Allah. Dengan demikian ayat ini melarang kepada setiap orang beriman untuk mengharamkan dirinya atas pernikahan atau hidup membujang, dan sebaliknya menganjurkan untuk menikah.

3.    Qaidah al-Ibrah bi ‘Umu>m al-Lafz{i la bi Khus{u>s al_Saba>b
Dari beberapa ayat yang telah dihimpun di bagian muka bahasan ini yang berbicara tentang anjuran menikah, ditemukan beberapa ayat yang berisi larangan membujang. Meskipun tidak secara eksplisit berbicara masalah membujang Pemahaman ini diperoleh dari kaidah bahwa ke khususkan sebab tidak membatasi keumuman nas{ yang kemudian dipadukan dengan kaidah ushul :

الا مر با لشى نهي عن ضده, والنهي عن شيئ أمر بضده
Artinya :
“Perintah akan suatu perkara berkonsekuensi akan larangan lawan perkara itu, demikian pula sebaliknya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa larangan membujang berkebalikan dengan anjuran atau perintah seseorang untuk menikah. Diantara ayat yang menganjurkan untuk menikah satu diantaranya adalah ayat ke 32 surat an-Nur yang berbunyi:
 
Artinya :
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.

Tafsir Mufrodat :

Al- Aya>ma>    : (bentuk jamak dari ayyimun) artinya ialah setiap laki-laki yang tidak beristri, dan setiap wanita yang tidak bersuami, baik gadis maupun janda.  Mereka-mereka itu juga orang merdeka bukan budak.  Termasuk pula wanita tuna susila.
S{a>lihi>n    :    orang yang pantas untuk menikah
Al-Ima>    :     budak wanita
Wa>si’un    :    maha kaya

Tafsir ayat :

Ayat ini dibuka dengan s{igat amar berupa fi’il madi yaitu وأنكحوا yang berarti nikahkanlah oleh kalian  wanita merdeka yang tidak bersuami. Quraish shihab menafsirkan perintah dalam ayat ini ditujukan kepada para wali dan para pemilik budak untuk menikahkan orang yang yang berada dala perwaliannya atau bahkan setiap orang yang belum memiliki pasangan hidup.  Sayyid qut{b menafsirkan lebih luas objek dari perintah ini tidak sebatas wali atau para pemilik budak melainkan seluruh kaum muslimin.  Adapun penjelasan lebih lanjut dari maksud potongan ayat ini adalah anjuran untuk membantu kepada orang yang belum menikah agar bisa dengan mudah menikah baik berupa bantuan harta maupun memudahkan jalan yang dengan itu perkawinan serta kekeluargaan bisa tercapai.Baca juga: Filsuf Paripatetik Islam.

Adapun kedudukan perintah dalam potongan ayat diatas menurut jumhur  hukumnya adalah istihsan (sebaiknya) dalam arti sunnah bukan wajib.  Hukumnya menjadi wajib jika pengabaiannya menimbulkan kemad{aratan, jika tidak menimbulkan kemad{aratan maka hukumnya menurut imam malik adalah anjuran atau mubah menurut imam syafi’i.  Pendapat lain dikemukakan sayyid qut{b yang menyatakan bahwa kedudukan perintah itu hukumnya dalah wajib.
والصالحين  adalah orang yang layak untuk kawin, dalam arti mampu secara mental serta spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti orang yang taat beragama. Ibnu ‘Ashu>r berpendapat bahwa jangan sampai ketaatan bergama menghalangi kamu untuk tidak membantu mereka kawin karena berasumsi bahwa mereka dapat memelihara diri dari perzinahan dan dosa. Tapi kawinkanlah mereka, malah orang yang tidak taat beragama lebih diprioritaskan untuk dibantu agar terhindar dari perbuatan dosa.  Tidak termasuk dalam kategori mampu atau layak kawin adalah orang-orang yang mempunyai harta. Karena pada potongan ayat selanjutnya Allah berjanji :

Potongan ayat ini menjelaskan bahwa hendaknya ketiadaan harta  atau modal yang kurang memadai menjadi penghalang dilangsungkannya perkawinan itu. Sehingga ayat ini dijadikan ulama sebagai bukti anjuran kawin walau belum memiliki kecukupan.  Ini semua didasari oleh keyakinan bahwa maha luas rizkinya dan pertolongan Allah menjadi wajib baginya. Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadith:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ
Artinya :
Tiga golongan orang yang Allah wajib menolongnya: pejuang di jalan Allah, orang yang menikah guna memelihara kesucian dirinya, dan hamba sahaya yang ingin memerdekakan diri dan memenuhi kewajibannya. (HR. Al-Nasai)

4.    Hadits Tentang Hukum Membujang/bujangan.
بَابُ النَّهْيِ عَنِ التَّبَتُّلِ –
 1848 حَدَّثَنَا أَبُو مَرْوَانَ مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعُثْمَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: «لَقَدْ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا»
Artinya :
"Sa’din meriwayatkan: Rasulullah SAW sungguh menolak pada Usman bin Maz’unin membujang, dan seandainya (Nabi) mengijinkan padanya niscaya memperbolehkan". (HR. Ibnu Majah)

1849 – حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ آدَمَ، وَزَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «نَهَى عَنِ التَّبَتُّلِ» . زَادَ زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ: وَقَرَأَ قَتَادَةُ: {وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً} [الرعد: 38]
Artinya :
“… dari Samuroh, sesungguhnya Rasulalloh SAW melarang untuk membujang. Zaid bin Akhzam menambahkan: Kotadah membaca:{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً} [الرعد: 38]Dan sungguh-sungguh Aku (Allah) telah mengutus beberapa utusan sebelum engkau (Muhammad) dan Aku menjadikan bagi mereka beberapa istri. [surat Arradu ayat 38]”.(HR. Ibnu Majah)

C.    Fikih Tabattul
Tabattul adalah memutuskan tidak menikah (membujang) dan memutus segala kelezatannya lalu mengkhususkan diri beribadah. Khishaa' adalah mengikat alat kelamin dan mematikan fungsinya. Maksudnya adalah memandulkan fungsi alat kelamin yang bisa membangkitkan syahwat. Karena adanya syahwat akan mengganggu maksud tabattul (membujang). 

Pengertian membujang menurut al-Tabari sebagaimana dikutip Sayyid Sa>biq  dalam fiq sunnahnya, yang dimaksud membujang oleh utsman bin ma’dzun adalah mengharamkan dirinya untuk nikah, pakai wangi-wangian dan segala macam kenikmatan hidup.

Adapun hukumnya membujang Berdasarkan penjelasan surat al-maidah ayat 87 beserta sabab nuzulnya, juga didukung oleh hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum membujang bagi orang yang mampu untuk menikah hukumnya adalah haram. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah yang memerintahkan atau menganjurkan seseorang yang telah mampu untuk menikah. Disamping itu pula hal ini telah jauh menyimpang dari tuntutan yang ada dalam ayat tersebut dimana Allah telah jelas menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sehingga apapun alasannya barang halal harus dihalalkan dan barang yang haram harus diharamkan.

Membujang diperbolehkan bagi orang yang memang benar-benar tidak mampu kawin sampai Allah mencukupkan rizki baginya untuk menikah. Hal ini bisa dijadikan masa tunggu baginya dan jalan untuk lebih bisa menjaga dirinya dari fitnah. Dianjurkan pula bagi orang yang membujang karena tidak mampu untuk berpuasa. Oleh karena itu Bagi orang-orang yang tidak mampu untuk menikah dianjurkan untuk berpuasa karena hal itu ibarat pengebiri.

Terlepas dari semua itu yang menjadi indikator penting dari sebuah pembujangan adalah niat yang ada dalam diri si bujang atau gadis. Selama keadaan membujang itu bukan berasal dari niatan mengharamkan perkawinan atau membenci perkawinan maka hukumnya mubah, apalagi jika keadaan itu sebagai pilihan menunggu antar waktu sebelum terjadinya pernikahan (baca:belum cukup biaya). Akan tetapi jika keadaan membujang itu lahir dari perasaan benci atau mengharamkan bagi dirinya perkawinan maka membujangi yang demikian itu hukumnya haram. Artikel Relevan lainnya: Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu syariat metodologis.

D.    Fiqh Sosial (Sebab-sebab orang membujang)
Sejalan dengan fitrah dan naluri seksual manusia, nikah dalah adalah hal yang sangat perlu dan penting sekali. Tidaklah da orang yang tidak mau menikah kecuali mereka orang-orang yang lemah dan durhaka kepada Allah sebagaimana dikatakan  khalifah Umar. Hal ini berdasarkan pada konsep islam yang tidak membenarkan hidup dalam kependetaan. Selain itu juga seseorang yang tidak menikah menyebabkan seseorang kehilangan banyak kebaikan dan keuntungan.

Fakta ironi terjadi di masyarakat ketika banyak kaum laki-laki dan perempuan yang tidak bisa menikmati hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini disebabkan oleh banyak keluarga yang mempersulit dan merintangi kelancaran jalannya pernikahan dengan macam-macam beban yang memberatkan banyak laki-laki dan perempuan sehingga mereka akhirnya menderita pembujangan dan tekanan kehidupan , terjun ke alam hubungan tercela antara laki-laki dan peempuan.

E.    Hikmah pelarangan membujang
Dengan adanya pelarangan membujang, maka seseorang dengan sendirinya dituntut untuk menapaki syariat Allah dan rasulnya salah satunya pernikahan. Dengan jalan itu akan terwuju hikmah dari sebuah perkawinan, yaitu :

1.    Adanya jalan untuk menyalurkan naluri seksual
2.    Memperbanyak keturunan dan ikut melestarikankehidupan manusia
3.    Menumbuhkan naluri kebapaan dan keibuan dalam membina rumah tangga
4.    Mendorong manusia mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kehidupan manusia.
5.    Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemsyarakatan yang direstui islam

BAB III
KESIMPULAN

1.    Haram hukumnya tabattul dan khishaa', karena dapat memutus garis keturunan. Padahal meneruskan garis keturunan adalah perkara yang dianjurkan dalam syari'at. Dan khishaa' juga dapat menyiksa dan merusak diri di samping dapat membahayakan dan bisa menyebabkan kematian. Perbuatan itu juga menghilangkan hakikat kejantanan, mengubah ciptaan Allah, kufur nikmat dan menyerupai kaum wanita.

2.    Ayat-ayat maupun hadits terdahulu di atas mengisyaratkan wajibnya menikah bagi yang sudah mampu mamupun belum mampu.

3.    Perintah bagi segenap kaum muslimin untuk memperhatikan keadaan sekitarnya terutama orang-orangyang belum menikah dan layak untuk menikah supaya memberikan bantuan dan mempermudah jalan bagi mereka untuk bisa menikah, terlebih kepada wali dan paara pemilik budak.

4.    Tidak ada hidup kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Sebab siapa saja yang meninggalkan (baca:membenci) Sunnah Muhammad saw. yang lurus kepada kerahiban ala Nashrani berarti keluar dari Sunnah kepada bid'ah.


Daftar Pustaka

Abi al-Hasan al Naisaburi, Asba>b al-Nuzu>l, Beirut: Da>r al-Fikr, 1991
al, Quzwainiy, Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, Maktabah Syamilah
 Al-Baghawi, ma’a>lim al-Tanzi>l, maktabah syamilah
Al-Mara>gi, Ahmad Must{afa, Tafsi>r al-Mara>g{i, Semarang: Toha Putra, jilid 18, 1989
Ibn Jari>r al-Tabari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A>y al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Fikr,juz V, 1995
M, Quraish Shiha>b, Tafsi>r al-Mis{ba>h, Jakarta: Lentera hati, vol.8, 2009
Mahali, A.Mudjab, Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman Al Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Salim bin 'Ied al-Hilali, Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/1-
Sayyid Qut{b, Tafsi>r fi> Z{ila>li al-Qur’a>n; di bawah naungan al-Qur’an, Jakarta:Gema insani, jilid 3, 2002
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Bandung: PT Ma’arif, 2000

0 Response to "Tafsir Hukum Islam Larangan Membujang"

Post a Comment