Jasa Penulisan Makalah - Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran
yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung
dalam al-Qur’an.[1] Dalam hubungan antara keduanya, hadits
berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini
diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan
sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an.[2] Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan
hadits nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam
dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan
dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi.
Penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu
(diantaranya sebagian dilakukan oleh orientalis) itu sebenarnya mengajak umat
islam untuk meragukan kebenaran dari hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits
yang ada dalam kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah
satu pilar agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki kesatuan atau
keseragaman dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan
ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis
dalam mengkaji hadits.
Yusuf Qardlawi telah menengarai kelompok
(musuh-musuh Islam) itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan
sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode
ilmiah” yang mereka peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang
mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis.
Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan Jyunboll. Berikut ini akan dibahas
pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.Orientalis |
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A. Pengertian Orientalis
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang
berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang
Timur atau Asia.[3] Secara geografis kata orient bermakna
dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur.[4] Sedangkan dalam kamus ilmiah populer
”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur. [5]
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub
menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran,
yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab
pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya,
peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. [6]
Baca juga: Hubungan Antara Agama dan Negara.
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama
pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya
apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang
ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis,
seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang
yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya.[7] Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar
dengan hanya membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan
Amerika) yang nonmuslim.[8]
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa
orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa
dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap
agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.[9]
B. Fokus Kajian Orientalis
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam
penelitian mereka terhadap al-Hadits, yaitu tentang para perawi hadis,
kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadits :
1. Aspek Perawi Hadis
Para orientalis sering mempertanyakan tentang para
perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. seperti yang kita
ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat
yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasulullah seperti Abu bakar,
Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadits adalah
sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam
kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis
tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul
dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah
ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah
berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih
dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits,
kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi
menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang
kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau
juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut
hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena
jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal
itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad. Baca juga: Ulumul Hadits dalam Perbincangan.
3. Aspek Pengklasifikasian Hadits
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari
kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah
Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut
mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara
verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis
ternama saat ini:
“Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah
terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya.
Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada
awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan
distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil”.
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis
tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa
memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis,
sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan
penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan
lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah
meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka
sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk
dari sebagian mereka.[10]
C. Kritik Orientalis terhadap Hadits
1. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka
yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia
berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari
Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke
Universitas Leipzig.
Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang
hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu
saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada
tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan
S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya
terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.[11]
Karena buku itu (Muhammadanische Studies),
dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub
mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup
berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah
hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku
ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar
kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana
Barat. Berbeda dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik
juga untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for
Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas
hadits adalah Snouck Hurgronjee.[12]
Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang
terpenting adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas
hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam
konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan
ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut
Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di
bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir
tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari
Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk
meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa
tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang
diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk
membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang
berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri.
Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul
Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa
“hadis”) Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang
dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara
dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir
adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara
definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan
al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan
hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun
dalam satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah
para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada
pada saat itu.[13]
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits
yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan
metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya
Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan.
Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik,
sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal
dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani
diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada
sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju
tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut
Goldziher, Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa
khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan
dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan
ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin
Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi
cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu
masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[14]
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis
ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad
yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi
kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.
Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn
Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum
dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat
Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari
sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher
adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam
Bukhari yang selama ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.[15]
Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak
sangat luas terhadap seluruh kajian-kajian tentang Islam. Pengaruhnya bukan
saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim,
misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dengan
meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan
Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga
banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr.
Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski
dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.
2. Josepht Schahct
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang
lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi
dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di
Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di
Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di
Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir,ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa
Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas
Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht
pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia
berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht
Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh
pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher
meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa
sebagian besar adalah palsu.[16]
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa
sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama
abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada
Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam
poin [17]:
1.Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau,
paling awal, akhir abad pertama.
2.Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan
sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3.Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh
pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan
dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i
untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak
ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan
demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5.Keberadaan comman narrator dalam rantai
periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat
itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya
tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori
berikut ini:
Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan
apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al
Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan
hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam
baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila
seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap
adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana
(ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya
menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika
satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis
dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain
untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis
tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha.
Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai
refrensi.
Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah
susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung
keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga
(antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian
bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat.
Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur
penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian
diatas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya
tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas
sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang
berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau
kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia
seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak
dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.[18]
3. Jyunboll
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua
orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The
Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of
Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition :
Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of
The Great Fitna.
Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah
begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap
otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan
perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits klasik
hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature,
adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan
para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits.[19]
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H.
A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies
in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan
The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang
sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung
gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence.
Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya
”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan
ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru
dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan
dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu.
Seperti hadis “man kadzaba……” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur
sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada
saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat
Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.[20]
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan
namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari
para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah
ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.[21]
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.[21]
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang
periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang
yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya
kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari
muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut
dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan
demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya,
di sanalah ditemukan common link-nya.[22]
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa
semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat
hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim
kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara
autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur.
Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat
dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.
Sebelum Juynboll, fenomena common link ini
sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph
Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher
dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan Jurisprudence,
terbitan Oxford adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah,
Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih
lanjut terhadap teori common link.
Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori
ini telah menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab,
dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak
dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut disebarkan
pertama kalinya. Di samping itu, teori common link juga menjadi wacana
yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus
memancing perdebatan bagi setiap orang yang membacanya.
D. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis
1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan
dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah
oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as
Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al
Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in
Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah
baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.[23]
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka
(kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia
Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan
pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in
Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot
menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama,
masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga,
pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri
dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.[24]
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa
kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan
hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada
masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari
47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi,
dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan
topik yang didiskusikan.[25]
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami
menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori
Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang
seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja.
Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul
malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis,
adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah
bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair.
Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda
seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi
masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya
untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul
Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.[26]
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher
adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih
Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan
bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya
isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar
mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat
perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati.
Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah
mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh
Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.[27]
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph
Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya.
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan
kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi
penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta
risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis
eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis
Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.[28] Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya
Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad
abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat
mustahil hadis bisa dipalsukan begitu
saja.
Sementara teori Argumenta e
Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The
Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention,
begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan
Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan
kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan
teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang
syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan
Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya.
Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik
sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang
ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan
penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.[29] Selain itu, temuan Anshari justru
membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan
verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam
Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia
menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang
tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah
hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam
asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi
yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar
Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar
asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu
Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu
mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga
menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor
lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum
merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan
hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama
bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin
aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh
para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis
utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting.
Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan
doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis
tersebut ada.[30]
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya
sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat
oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut,
sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan
Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata
ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti
lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke
Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain,
khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah
teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis.
Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam
naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh
(w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi
saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis
itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah
altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa
pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara
domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko,
antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan
redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting
Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan
merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum,
adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan
penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada
rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan
membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan
para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang
dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3. Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para
sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara
yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah
hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut.
Azami cenderung menyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode
yang dihasilkannya tidak
relevan.
Bagi Azami, teori common link
banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan
seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang
meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an
dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai
seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya
periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan
tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.[31] Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa
jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah
dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini
tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi
yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming
atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun
hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih
akurat.
BAB III
KESIMPULAN
Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang
sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau
verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis.
Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi
pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena
tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di
samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah
mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan
beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif
dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang
menarik bagi orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun
Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang
menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit
karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi
nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik.
Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para
orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah,
namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi
yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
Para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam
memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai
murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai
sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut
dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan
dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang
pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa
Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab
dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa
interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman
dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja
ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam
penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya.
Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif
yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam
perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya
orientalis itu.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis
atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”,
dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya,diakses
pada tanggal 20 Desember 2010.
http://moenawar.multiply.com/journal/item/5. diakses
pada tanggal 20 Desember 2010.
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.
…..” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common
Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata
Orientalist” dalam internet
website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,
diakses tanggal 17 Desember 2010.
M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum.
Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004
M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer .
Surabaya: Arkola, 2001.
Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”,
dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada
tanggal 24 Nopember 2010.
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim
Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet
website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57,
diakses tanggal 27 Desember 2009.
Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab
Indonesia. Jombang: Lintas Media, tt..
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis
Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang
Merah Press, 2004.
0 Response to "Hadits dan Orientalisme"
Post a Comment