Jasa Penulisan Makalah - Dalam kajian Filsafat, terdapat istilah yang
disebut dengan Positivisme. Positivisme ditengarahi sebagai paham yang mempengaruhi
pesatnya perkembangan Ilmu pengetahuan saat ini. Dalam catatan sejarah
Positivisme dengan metodenya mampu mempengaruhi penganutnya untuk bangkit membuat
temuan-temuan ilmiah yang sangat spektakuler sampai saat ini.Munculnya paham
ini bertepatan dengan masa Renaissance yang dikenal sebagai masa kebangkitan
filsafat.
Dalam Filsafat
Ilmu kita mengenal sebuah istilah yang disebut dengan Sumber Pengetahuan yang
mempersoalkan dari mana sebuah Ilmu pengetahuan diperoleh atau lewat apa
pengetahuan itu didapat. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan. Ada yang disebut dengan Empirisme, yaitu pengetahuan yang
didapatkan melalui pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
indrawi.[1]Sumber
ilmu pengetahuan lainnya adalah Rasionalisme yang menyatakan bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan
akal.[2]
Kedua sumber ilmu pengetahuan itu mempunyai kelemahan masing-masing sehingga dari
dua aliran tersebut terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Dalam hal
ini panca indera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan
berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal.
Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat
dengan hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati
hakikat itu.
August Comte - Filsafat Positivisme |
Adanya problem
pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan
aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel Kant. August Comte
berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan,
tetapi harus dipertajam dengan dengan alat bantu dan diperkuat dengan
ekperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen
itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan
derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak
cukup mengatakan api panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan
panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti.[3]
Immanuel Kant setuju dengan Hume (tokoh filosofis empirisme) dan
para empirisis lain tentang tidak adanya gagasan-gagasan yang sudah ada dari “sononya”;
tetapi ia menolak pernyataan bahwa segala pengetahuan berasal dari pengalaman.
Kaum empirisis berpendapat bahwa semua pengetahuan harus bersesuaian dengan
pengalaman, dan dengan cemerlang Kant membalikkan pernyataan ini dengan
menyatakan bahwa “semua pengalaman harus bersesuaian dengan pengetahuan”.[4]
Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran
diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena
itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala
yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat
dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam
tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif.
Pada fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang
mengurus semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi
menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme.[5]Pada
tahap teologis inilah orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat
pernyataan kehendak khusus.
Pada tahap metafisis, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi
kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang
bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala
gejala.[6]
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya
tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat
yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan
penggunaan akal.
Dalam hal ini, Immanuel Kant(1724-1804) juga menekankan pentingnya
meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan
datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih
mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus
menyebabkan demam tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari
penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan
sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.[7]
Tokoh-Tokoh Positivismepada Masa Renaissance
Renaissance merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan
perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan
dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi
gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme. Zaman ini juga merupakan
penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius
serba bisa, Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan
ditemukannya benua baru (1492) oleh Columbus memberikan dorongan lebih keras
untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris, Perancis, dan
Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan Rosand. Pada masa itu seni
music juga mengalammi perkembangan. Adanya penemuan para ahli perbintangan
seperti Copernicus dan Galileo menjadi dasar bagi munculnya astronomi modern
yang merupakan titik balik dalam pemikiran ilmu dan filsafat. Baca juga: Filsuf Paripatetik Islam.[8]
Tidaklah mudah untuk membuat garis batas yang tegas antara zaman
renaissance dengan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zamanmodern
hanyalah perluasan renaissance. Akan tetapi, pemikiran ilmiah membawa manusia
labih maju ke depan dengan kecepatan yang besar, berkat kemampuan-kemampuan
yang dihasilkan oleh masa sebelumnya. Manusia maju dengan langkah raksasa dari
zaman uap ke zaman listrik, kemudian zaman atom, elekrton, radio, televisi,
roket dan zaman ruang angkasa.[9]
Sebagaimana telah digambarkan di atas,sebagian dari tokoh terkenal yang
berpola pikir positivisme adalah August Comte dan Immanuel Kant. Baca juga : Riwayat hidup dan pemikiran aristoteles.
August Comte
Comte Lahir di
Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari Negara Perancis.
Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di Politeknik Ecole di
Paris. Politeknik Ecole saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis
republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, pliteknik tersebut di
tutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan Ecole dan melanjutkan
pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian,
ia melihat sebuah perbedaan mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan
pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan
Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekretaris
dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte
masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan
Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte
mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya: meneliti tentang filosofis
positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour
réorganiser la société (1822)
(Indonesian :Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat).
Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya.
Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor dan bantuan
finansial dari beberapa temannya.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte
dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1862 dia dibawa ke
sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh kemudian setelah
kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu
direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842
karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat di antara pengerjaan kembali
rencannya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le
Cours de Philosophie Positivistic.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux,
dalam hubungan yang tetap platonic. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini
menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah
seorang penemu sekaligus seorang nabi dari “agama kemanusiaan” (religion of
humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive(1851-1854).
August Comte merumuskan apa yang disebutnya “hukum tiga tahap”: Roh
manusia dalam perkembangannya melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap
metafisik, dan tahap positivistic. Tahap teologis adalah tahap kekuasaan kasta
pendeta dan ksatria; di situ manusia menjelaskan kejadian-kejadian alami dari jiwa
yang ada dalam benda-benda alami itu atau dari kekuatan-kekuatan adiduniawi;
Comte di sini memasukkan fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Tahap kedua
adalah metafisik, tahap para filosof. Tahap itu dibuka oleh para filosof Yunani
yang bertanya tentang archai, dasar-dasar realitas yang ada. Para
filosof itu menjelaskan realitas dengan sebab-sebab, “idea-idea” dan
“kekuatan-kekuatan” abstrak. Tahap terakhir yang
positivistic adalah tahap ilmu pengetahuan, tahap persatuan teori dan praktek,
di mana manusia, melalui pengamatan dan eksperimen, berusaha untuk semakin
memahami kaitan-kaitan antara gejala-gejala yang dialaminya; kaitan-kaitan yang
tetap dirumuskan sebagai “hukum” misalnya “hukum alam”.[11]
Immanuel Kant
Immanuel kant
dilahirkan pada tanggal 22 April1724 di wilayah Baltik di Konigsberg, yang dulu
adalah ibukota propinsi Jerman yang terpencil, Prusia Timur (sekarang menjadi
Kaliningrad di Rusia). Pada usia 18 tahun, Kant memasuki Universitas Konigsberg
sebagai mahasiswa teologi. Ia dibesarkan dalam suasana Pietist (sebuah
gerakan yang semula berasal dari aliran geraja Lutheran di Jerman pada abad
ke-17, yang menekankan ajarannya pada kehidupan agama formal yang ortodoks).Pada
mulanya Kant mendapatkan bantuan keuangan dari gereja Pietist local untuk
menjalani kuliahnya, tetapi pada tahun 1746, ketika Kant berusia 22 tahun,
ayahnya meninggal dunia. Kant bersama lima orang adik perempuannya ditinggalkan
dalam keadaan miskin. Selama Sembilan tahun berikutnya, Kant membiayai dirinya
sendiri dengan memberikan les pada keluarga-keluarga kaya di sekitar wilayah
pedesaan.[12]
Dalam kajian
epistemology Kant, kegiatan manusia mengetahui suatu objek merupakan suatu
kegiatan aktif subjek untuk mengkonstruksikan sesuatu dengan memakai
kategori-kategori pemikiran bersifat apriori. Kant amat menekankan peran aktif
subjek penahu dalam kegiatan manusia mengetahui. Subjek bukan dipahami sebagai
penonton pasif yang hanya mencatat apa yang digoreskan dalam pikiran oleh objek
dan kemudian melaporkan kembali sebagaimana adanya, tetapi mengkonstitusikan
atau membentuk objek sendiri sebagaimana diketahui. Seluruh unsur formal atau strukturaldalam
objek berasal dari subjek atau pikiran manusia. Dibandingkan dengan pendapat
para pemikir sebelumnya, pendapat Kant ini dapat dikatakan bersifat
revolusioner. Ia sendiri menyebutnya sebagai suatu “revolusi Kopernikan” dalam
filsafat. Sebagaimana Kopernikus membalikkan pendapat yang sebelumnya berlaku
dalam astronomi dengan menyatakan bahwa bukan matahari mengelilingi bumi, tetapi
bumi mengelilingi matahari, demikian juga Kant menyatakan bahwa bukan subjek
yang tergantung pada objek, tetapi sebaliknya objek tergantung pada subjek.[13]
Dalam rumusan
Kant, setiap unsur dalam kegiatan manusia mengetahui muncul bersamapengalaman,
tetapi tidak setiap unsur di dalamnya berasal dari pengalaman, karena sebagai
syarat-syarat bagi dimungkinkannya pengalaman akan objek, unsur-unsur itu
terberi sebagaimana terpenuhi dalam pengalaman; tetapi unsur-unsur formal tersebut
tidak dapat berasal dari pengalaman, karena empirisis merupakan syarat-syarat
bagi dimungkinkannya pengalaman.[14]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pada dasarnya aliran positivisme ini (yang diuraikan oleh August
Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri,
tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama
dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
Immanuel Kant mencontohkan
bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tanpa penelitian
yang mendalam dan eksperimen.Dari sini Ia menekankan pentingnya meneliti lebih
lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan
dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam.
August Comte berpendapat bahwa
indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus
dipertajam dengan dengan alat bantu dan diperkuat dengan ekperimen. Kekeliruan
indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan
ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur
dengan meteran, dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte
Komite Nasional
Mesir untuk UNESCO, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan ,
penterjemah: Ahmad Tafsir, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Magnis-Suseno,
Franz, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005.
Shadily, Hasan,
Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1984.
Stranthern,
Paul, 90 Menit Bersama Kant, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.
Sudarminta, J.,
Epistemologi dasar, pengantar filsafat pengetahuan, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2002.
Wikipedia
Logical Positivisme.htm.
[1]Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 98.
[4]Paul
Stranthern, 90 Menit Bersama Kant, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001),hlm.
23.
[5]Positivisme dan
Perkembangannya-Arif Wibowo.htm, diakses 21:13, 04-09-2011.
[6] Amsal
Bakhtiar, Op. Cit., hlm. 154.
[8] Hasan Shadily,
Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1984), Vol : V. hlm.
2880.
[9] Komite
Nasional Mesir untuk UNESCO, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan ,
penterjemah: Ahmad Tafsir, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1986), hlm. 174.
[10]http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte,08:04,
06-11-2011.
[11]Franz
Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta :Penerbit Kanisius,
2005),hlm. 11.
[12]Paul
Stranthern, Op. Cit., hlm. 3-7.
[13] J. Sudarminta,
Epistemologi dasar, pengantar filsafat pengetahuan, (Yogyakarta :Penerbit
Kanisius, 2002), hlm. 110.
0 Response to "Filsafat Positivisme"
Post a Comment