Insan Kamil




Jasa Penulisan Makalah - Insan Kamil atau pengertian lainnya adalah manusia sempurna, adalah sebuah capaian yang ingin diraih oleh setiap manusia. Karena secara manusiawi, setiap manusia memiliki rasa dan keinginan untuk menjadi manusia. Lalu seperti apakah pengertian dari Insan Kamil itu? dan karakteristiknya seperti apa? Berikut ini penjelasan tentang Insan Kamil. Selamat menikmati.

A.    Pengertian Insan Kamil

Insan Kamil adalah aspek (shurah) ketiga dari haqiqat al-Muhammadiyah, sebagai manusia sempurna karena ia memiliki wujud positif.[1] Dalam konsepsi sufisme dikatakan, bahwa Manusia Sempurna adalah suatu kelas tertentu dari manusia, yang dalam kondisi tertentu menyadari kebersatuan esensialnya dengan Tuhan. Karena kesadaran itu pula Insan Kamil memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang dirinya dan tentang Tuhan menjadi sempurna.[2] Jadi, Insan Kamil disebut sempurna karena memilliki kesadaran dan pengalaman penyatuan essensialnya dengan Tuhan sehingga secara aktual ia merupakan mikrokosmos, karena ia benar-benar sebagai manifestasi dari atribut Tuhan. Manusia sempurna dalam pandangan Ibn Arabi tidak bersifat teoritis belaka, tetapi harus aktual. Sebab, menurut ajaran ini, setiap Insan Kamil juga pasti seorang sufi, karena hanya dalam sufisme sajalah kesadaran dan pengalaman seperti itu dapat dirasakan, bukan melalui filsafat.[3] Baca juga: Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shariah Metodologis.
Bagi Insan Kamil, Tuhan bukanlah sebuah layar bagi makhluk-Nya, dan makhluk tidak akan tertabiri dari al-Khalik. Ia menjadi seimbang dalam ke dua arah (Masawiy-ut-tarfain). Ia adalah seseorang yang telah melaksanakan suluk (perjalanan pencarian) menuju Tuhan dan bersama Tuhan, dan mencapai titik Haqiqat-i-Muhammadi, yang Qaba qawa-sain aw adna (Q.S. 53: 9), sebuah ttik yang berjarak dua busur, atau bahkan lebih dekat lagi. Ia menjadi poros, di sekeliling mana seluruh eksestensi mengeliling, dan menyinari hati makhluk-makhluk lainnya.[4]

Insan Kamil
  
   B.     Hubungan  Insan Kamil dengan Iman dan Takwa

قال ابن عمر لا يبلغ العبد حقيقة التقوى حتى يدع ما حاك فى الصدر.
Artinya: Ibnu ‘Umar r.a berkata ‘’seseorang tidak akan mencapai hakekat takwa sehingga meninggalkan sesuatu yang mengganjal (kegoncangan yang) di dalam dada’’.
Seseorang muslim tidak akan mencapai derajat takut kepada Allah, sehingga menghindari segala sesuatu yang menggoyahkan iman yang ada di dalam dadanya, sehingga hatinya tidak diisi dengan ilmu pengetahuan dan tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
‘Abdillah bin ‘Umar bin Khatab mengajak untuk menguatkan kepercayaan kepada Allah SWT, sedikit berpikir dalam ta’at kepada Allah dan memperbaiki ibadah pengabdian, sehingga seseorang dapat mencapai derajat muttaqin (orang yang bertakwa sempurna) serta ikhlas sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah SWT yang artinya:
‘’Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka’’. (Q.S. Al-Hajj : 34-35).[5]
Firman Allah SWT yang lain yang artinya:
‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal’’. (Q.S. Al-Anfaal : 2).
Hakekat takwa menurut Imam Karmani ialah beriman. Sebab maksud dari takwa ialah menjaga diri dari segala perbuatan yang mengantar ke arah kemusyrikan. Dengan demikian memberikan pengertian, bahwa sebagian dari orang yang beriman ada yang dapat  mencapai hakekat iman yang sebenarnya, dan sebagian yang lain ada yang tidak dapat mencapainya. Alhasil, iman seseorang itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang.[6] Maksudnya, sesungguhnya iman dimuthlakkan atas membetulkan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dilakukan dengan perbuatan, dan iman itu bisa berkurang atau bertambah sesuai dengan berkurang dan bertambahnya tiga komponen tersebut.[7]
Oleh karenanya, perlu sekali kita membenarkan niat semata-mata mencari keridlaan Allah SWT dalam segala perbuatan dan amal, berlindung dari rayuan dan bujukan syaitan, menjauhi segala angan-angan yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT, memperbanyak taubat dan penyesalan terhadap maksiat yang telah dilakukan, beranggapan bahwa amal yang telah dilakukan adalah masih sangat kecil (sedikit) sehingga dapat menambah gairah untuk melakukannya kembali, cinta dan marah semata-mata hanya karena Allah SWT, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Hendaklah memililki sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi. Menurut Imam Nawawi ketika terpadunnya ketiga komponen di atas adalah merupakan iman yang sempurna, bukan masalah dasar dan keadaan iman itu sendiri.
Sehubungan dengan masalah di atas, maka Imam Bukhari menampilkan beberapa ayat Al-Qur’an yang diangkat sebagai dasar dalam pembahasan masalah iamn ini. Di antara ayat-ayat tersebut ialah, yang artinya:
‘’Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)’’. (Q.S. Al-Fath : 4)
Ayat-ayat yang telah dikemukakan diatas adalah menunjukkan bahwa derajat seorang mukmin dapat bertambah dan berkurang menurut bertambah dan berkurangnya keyakinannya kepada Allah SWT serta kadar amal perbuatannya yang shalih, baik pengabdian kepada Allah SWT maupun kepada masyarakat.[8] Yang menjadi unsur terciptanya kemaslahatan dikalangan masyarakat adalah adanya amal atau kebaikan yang langsung berhubungan antar dan inter manusia. Untuk mewujudkan itu hendaklah dilaksanakan tujuh belas macam, yaitu: Melaksanakan tugas dikalangan kaum muslimin, berkumpul dan mengikuti jama’ah, ta’at kepada ulil-amri, membantu ulil-amri dalam kebaikan-kebaikan, mempertahankan dan menyiarkan ilmu agama (islam), amar ma’ruf, nahi mungkar, memlihara agama Allah dengan menjauhkan kekafiran serta berjuangberjuang melawan orang kafir, membina persatuan dijalan Allah, mengekang jiwa dengan menghindarkan diri dari tindak pidana, menegakkan hak jiwa dengan qishash dan diyat, menjaga harta orang lain dengan jujur, menyampaikan amanat, menjauhi kedhaliman, memelihara keturunan dan kehormatan manusia dengan melaksanakan had zina dan had memperkosa wanita, memelihara kesehatan akal dengan menghindari narkotika dan minuman keras serta sesuatu yang menyebabkan rusaknya akal, dan menolak kemadlaratan dari kaum muslimin sampai hal-hal yang terkecil pun (contohnya : membuang anak duri di jalan)[9].
Sedangkan pengabdian kepada Allah yang diwujudkan melalui hubungan antara insan kamil dengan iman dan takwa adalah bahwa manusia itu  itu belum bisa dikatakan sempurna apabila iman dan takwanya pun belum sempurna. Maka dari itu Iman itu sebagai penggerak bathin (dlamir) yang dapat mengajak (menarik) mereka ke arah kemanisan akhlak yang sempurna, berjalan diatas jalan yang lurus, dan menjauhkan diri dari membuat madlarat terhadap manusia lain. Mereka beri’tikad, bahwa iman dan ketakwaan mengajak mereka ke arah kebaikan bermu’amalah untuk mencari keridlaan Allah. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan shalat, puasa dan fardlu lainnya, maka berarti iman mereka adalah naqish (kurang sempurna). Orang tersebut bisa dikategorikan dalam golongan orang-orang fasik, lemah iman dan kurangnya ketakwaan mereka. Baca juga: Plularisme Agama.
Sebagaimana di atas telah diterangkan, bahwa ‘’sifat malu’’ termasuk kategori cabang iman. Yang dimaksud dengan malu disini ialah akhlak pekerti yang dapat mendorong seseorang menjauhi segala kejahatan, keburukan serta mencegah kelalaian dalam melaksanakan kewajiban. Sebab ‘’malu’’ inilah yang akan mengantar seseorang dapat melaksanakan cabang-cabang iman yang lain. Lantaran malu, seseorang merasa takut mendapat cela, baik di dunia maupun di akhirat. Dan ‘’sifat malu’’ ini adalah salah satu kategori yang bisa mewujudkan tingkat kesempurnaan manusia dalam segi iman dan ketakwaan.[10]
   C.    Klasifikasi Muslim yang Paripurna
Orang muslim sejati ialah yang ucapan dan perbuatannya tidak merugikan orang lain, bahkan mendatangkan kemanfaatan. Setidak-tidaknya berusaha untuk memberi dan mendatangkan manfa’at kepada pihak lain.
Rasulullah SAW bermaksud untuk memberikan undang-undang tentang orang yang amal perbuatannya menunjukkan keta’atan lahir batin serta berhias dengan sopan santun yang tinggi sebagaimana yang telah digariskan oleh ajaran syari’at Islam. Orang yang demikian inilah yang di dalam hatinya memancarkan cahaya iman. Dia mendapat petunjuk dari Allah, sehingga mampu menjaga perkataan dari menggunjing, memfitnah, menipu, menyalahkan api permusuhan dan sejenisnya. Serta orang itu dapat memelihara tanagnnya, sehingga tidak melakukan pencurian, menyakiti orang lain, berbuat dhalim, melampaui batas, memakan riba serta segala macam perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan di permukaan bumi.
Namun muslim yang paripurna (yang sempurna dan utama) ialah orang yang padanya terkumpul penunaian hak-hak Allah  dan hak-hak sesama kaum muslimin, serta mencegah diri dari segala hal yang buruk. Dan juga disertai keimanan dan ketakwaan yang beri’tikad dalam hati yang harus direalisir dengan perbuatan yang nyata dan mendapatkan manfa’at.[11] Seorang Muslim harus beriman dengan sebenar-benarnya. Sebab, Allah SWT Mensyaratkan keimanan bagi amal shaleh dan mensyaratkan amal shaleh bagi keimanan. Allah SWT berfirman, Maka barang siapa mengerjakan amal saleh, sedangkan ia beriman, tiada pengingkaran terhadap amalannya.(Q.S. Al-Anbiya’[21]: 94). Tentang kaitan iman dengan amal saleh, Allah SWT berfirman, Dan barang siapa datang kepada Tuhan mereka dalam keadaan beriman lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi. (Q.S. Tha Ha [20]: 75 )[12]

 
PENUTUP
    A.    Kesimpulan
Insan Kamil adalah aspek (shurah) ketiga dari haqiqat al-Muhammadiyah, sebagai manusia sempurna karena ia memiliki wujud positif. Jadi, Insan Kamil disebut sempurna karena memilliki kesadaran dan pengalaman penyatuan essensialnya dengan Tuhan sehingga secara aktual ia merupakan mikrokosmos, karena ia benar-benar sebagai manifestasi dari atribut Tuhan.
Hubungan antara insan kamil dengan iman dan takwa adalah bahwa manusia itu  itu belum bisa dikatakan sempurna apabila iman dan takwanya pun belum sempurna. Maka dari itu Iman itu sebagai penggerak bathin (dlamir) yang dapat mengajak (menarik) mereka ke arah kemanisan akhlak yang sempurna, berjalan diatas jalan yang lurus, dan menjauhkan diri dari membuat madlarat terhadap manusia lain.
Orang muslim sejati ialah yang ucapan dan perbuatannya tidak merugikan orang lain, bahkan mendatangkan kemanfaatan. Setidak-tidaknya berusaha untuk memberi dan mendatangkan manfa’at kepada pihak lain. Namun muslim yang paripurna (yang sempurna dan utama) ialah orang yang padanya terkumpul penunaian hak-hak Allah  dan hak-hak sesama kaum muslimin, serta mencegah diri dari segala hal yang buruk. Dan juga disertai keimanan dan ketakwaan yang beri’tikad dalam hati yang harus direalisir dengan perbuatan yang nyata dan mendapatkan manfa’at. 
 
DAFTAR PUSTAKA

Siregar. H. A. Rivay. 1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budiman Achmad Nasir. 1993. Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mahali A. Mujab, Insan Kamil. 1986.  Yogyakarta: BPFE YOGYAKARTA.
Al-Maliki Abu Thalib. 2005.  Tafsir Sufistik Rukun Islam, Bandung: PT. Mizan Pustaka.



[1] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 210.
[2] Ibid. hal. 211
[3] Ibid. hal. 212
[4] Achmad Nasir Budiman, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 81
[5] A. Mujab Mahali, Insan Kamil, (yogyakarta: BPFE YOGYAKARTA, 1986), hal.27
[6] Ibid. hal. 28
[7] Ibid. hal. 29
[8] Ibid. hal. 30-31
[9] Ibid. hal. 37
[10] Ibid. hal.38
[11] Ibid. hal.39
[12] Abu Thalib Al-Maliki, Tafsir Sufistik Rukun Islam, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005), hal. 246

0 Response to "Insan Kamil"

Post a Comment