Jasa Penulisan Makalah - Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan
menjadi bagian agama islam. Sebagai sistem hukum,ia
mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab
kadangkala membingungkan kalau tidak diketahui persis maknanya.
Berbicara
tentang hukun terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan
atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat,
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum
yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum
tertulis dalam peraturan perundang- undangan seperti hukum Barat.Hukum dalam
konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia
untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam
konsepsi hukum perundang-undangan
(Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain
dan benda dalam masyarakat. Baca juga: Hukum Internasional "Jenis Subjek" dan Pengertian Kewenangan.
Disamping
itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi hukum Islam. Dasar
dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya. Karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai
hubungan. Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh
seperangkat ukuran tingkahlaku yang didalam bahasa Arab
disebut hukm.
![]() |
Hukum Islam |
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa, hukum bermakna “ menetapkan sesuatu
pada yang lain”, seperti menetapkan haram pada yang khamar. Sedangkan menurut
istilah para ulama’ ushul fiqh, a.l Abu Zahrah (1958: 26) hukum adalah kitab
syar’I yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan
atau wadh’i.
Yang dimaksud dengan kitab
Syar’I adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dan Rosul-Nya terhadap
berbagai kegiatan mukallaf.Kitab Wadh’I adalah ketentuan syar’I tentang
perbuatan mukallaf yang mempengaruhi perbuatan taklif. Baca juga: Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shariah Metodologis.
A.
Hukum Taklifi
Hukum
taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan
menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan
tuntutan.Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai
perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan
karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan
meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. Misalnya
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110, artinya: ”Dan
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan
suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Al-Isra’, 17:33, artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”Tuntutan
Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu :[1]
1.
Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan
mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah SWT,
yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya:
mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
Dibawah ini
akan disebutkan beberapa pembagian wajib, diantaranya
yakni :
Ø Pembagian wajib ditinjau dari segi waktu
pelaksanaan
a.
Wajib
muthlaq
Yaitu kewajiban
yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu
pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.Contohnya wajib
membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
b.
Wajib
muaqqad
Yaitu kewajiban
yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu
tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
c.
Wajib
muwassa’
Yaitu kewajiban
yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban
itu. Contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang
sampai subuh.
d.
Wajib
mudhayyaq
Yaitu suatu
kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajibanitu sendiri.Contohnyapuasaramadhanwaktu
mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
e.
Wajib
dzu syahnaini
Yaitu kewajiban
yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di
atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq, yaitu waktu
mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah
haji.
Ø Pembagian wajib dari segi pelaksana
a.
Wajib
‘ain
b.
Wajib
kifayah
Ø Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut
a.
Wajib
muhaddad
Kewajiban yang
ditentukan kadarnya, contoh : zakat
b.
Wajib
ghairu muhaddad
Yaitu kewajiban
yang tidak ditentukan kadarnya.
Ø Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut
a.
Wajib
mu’ayyan.
Wajib yang
ditentukan zatnya, contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
b.
Wajib
mukhayyar.[2]
Wajib yang
diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
2. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan
itu dituntut untuk dikerjakan,yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah SWT,dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunah)”.
Contohnya:
sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
Mandub(sunah)
dibagi menjadi dua yakni :
Ø Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut.
Sunah terbagi dua, yaitu :
a.
Sunah
muakkadah
Yaitu perbuatan
yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang menunjukkan bahwa
perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
b.
Sunah
ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan
yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan
perbuatan tersebut.
Ø Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi tiga,
yaitu:
a.
Sunah
hadyu
Yaitu perbuatan
yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat
darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat.Contohnya shalat hari
raya.
b.
Sunah
zaidah
Yaitu sunah
yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak
mendapat dosa.Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela
bila ditinggalkan.
c.
Sunah
nafal
Yaitu perbuatan
yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.[3]
3. Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang
apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari
Allah SWT dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal
dengan istilah “haram”.
Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua
berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang
ditetapkan oleh dalil-dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan
harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
4.
Tuntutan
untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang
apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala,
yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
5.
Sesuatu
yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau
meninggalkan. Hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum
dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk
berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan
perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
Baca juga: Inti Aqidah Islam.
B.
Hukum Wadh’i
Allah
SWT menjadikan syariat itu kabar gembira dan kemudahan bagi hambanya,dari
keadaan yang lemah dan segala urusan yang darurat. Hukum Wadh’i
sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih,yang
ditulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya titah Allah SWT
dalam kitabnya,dengan menjadikan sebuah perintah, sebagai tanda atas perintah
yang lainnya.
Adapun
menurut pendapat yang lainnya,dalam buku Ushul Fikih bagi
Pemula yang ditulis oleh Abdul Mughits, M.Ag hukum Wadh’i adalah hukum
yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang
disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang
(mani’) dan yang menghalangi (mamnu’), antara hukum yang sah dan hukum yang
tidak sah. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai beberapa macam-macam
Hukum Wadh’i yakni :
1.
Sebab
(al-Sabab)
Sabab yang
dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara
etimologis artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada
suatu tujuan.”Dari kata inilah dinamakan “jalan” itu sebagai sabab, karena “jalan”
bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan. Menurut terminologi,
Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan sifat Zhahir yang dapat diukur yang
ditunjukkan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an dan sunnah) bahwa keberadaannya sebagai
pengenal bagi hukum syari’.
Sedangkan
menurut Prof.DR. Rachmat Syafii, M.A dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih, bahwa “sebab”
menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain
berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah
adalah suatu sifat yang dijadikan sari’ (syarat)
sebagai tanda dari hukum.
Pengertian ini
menunjukan bahwa sebab sama dengan illat walaupun
sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat
tersebut. Akan tetapi tidak setiap sebab disebut illat.Jadi,
sebab itu masih bersifat umum sedangkan illat itu sudah
bersifat khusus. Contoh dari adanya sebab sesuatu adalah sebagaimana
Allah SWTberfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,… “ (QS. Al-Maidah:6)
Adapun secara
terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ untuk mengetahui
hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika
al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya
al-sabab tersebut. Seperti firman Allah SWT.dalamQS.al-Isra`: 78
yang artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” Dalam ayat
tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya
kewajiban salat dzuhur.
2.
Syarat
(al-Syarthu)
Syarat adalah
sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya.Apabila syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi
adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contohnya seperti ketika
kita akan melaksanakan shalat, maka syarat yang harus dipenuhi adalah berwudhu.
Akan tetapi ketika kita berwudhu, kita tidak harus melaksanakan shalat.
Dilihat dari
segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi menjadi dua
macam:
Ø Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu
menguatkan akan makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum
tersebut. Sebagai contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk
melaksanakan hadd dalam pencurian.
Ø Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan
hakikat al-musabbab atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi
syarat sahnya salat.
3.
Pencegah
(Al-Mani’)
Definisi
al-mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.Secara terminologi;
sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab.Sebuah akad perkawinan yang sah
karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris
mewarisi.Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang disebabkan suami misalnya
membunuh istrinya.
Macam-macam al-Mani’terbagi menjadi dua macam:
Ø Mâni’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum
syariat. Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh
anaknya.
Ø Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab
yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam
zakat yang menjadi al-mâni’ dari kewajiban zakat.
4.
Sah
(Al-Shihhah)
As-sihhah
adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’ yaitu terpenuhinya
sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah
tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudu (syarat), dan tidak ada halangan
bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya).Dalam hal
ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.
Daripenjelasan
di atas bahwa As-sihhah adalah apabila kita akan mengerjakan sesuatu dikatakan
sah apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang
dari kedua hal tersebut.
5.
Batal
(al-Buthlan)
Al-Buthlan
adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh orang mukallaf yang
tidak sesuai dengan tuntunan syara’ adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat
hukum, baik tidak sahnya itu karena cacat pada rukun, maupun tidak terpenuhi
syarat-syarat yang diperlukan dan baik dalam soal ibadah, maupun dalam soal
mu’amalah.Maka atas dasar ini sebagian para ahli ushultidak membedakan antara
pengertian Bathil dan Fasid.
Jadi al-Buthlan
adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh Islam, oleh sebab itu
segala perbuatan yang tidak disyariatkan Islam adalah batal, seperti halnyamemperjualkan
minuman keras dannarkoba.Akad ini dipandang batal,
karena minuman keras dan narkoba tidak bernilai harta dalam pandangan syara.
6.
Al-‘Azimah
Secara
etimologi, ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu
al-muakkid,yaitu keinginan yang kuat, akan tetapi
Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya sejak
semula.Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak dulu
(asli) yang berlaku umum.
Adapun secara
terminologi ‘azimah berarti hukum syariat bagi seorang
mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi.Seperti kewajiban salat,
zakat, puasa, dan lain-lain.Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan
oleh semua orang mukallaf.Akan tetapi bagi
orang yang dalam keadaan terpaksa, ia diperkenankan untuk memakannya, asal
tidak berlebih-lebihan ataudengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram
memakan bangkai itu azimah, sedangkan boleh memakan bangkai itu adalah rukhsah.
7.
Al-Rukhshah
Al-rukhsah
ialah ketentuan yang disyariatkan oleh
Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang
khusus.Secara etimologi, rukhshah berarti al-suhulah dan al-yusru, atau al-tashil dan
al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan.Adapun secara terminology,
rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai
peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum
syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan
tertentu.
Macam-macam Rukhshah diantaranya yakni :
Ø Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa.
Seperti makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan
sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan kematian.
Ø Pembolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi
seorang musafir atau seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan
adanya masyaqqah.
Ø Pembolehan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia.
Seperti akad jual beli pemesanan.Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak
diperbolehkan, karena barang yang dibeli tidak ada ketika akad
berlangsung.Syâri’ telah membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan
telah menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. Ushul fiqh.Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Daud, Ali Muhammad. 2005.Hukum
Islam Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
0 Response to "PEMBAGIAN HUKUM ISLAM"
Post a Comment