Hubungan Antara Agama dan Negara

Jasa Penulisan Makalah - Hubungan antara agama dan Negara menjadi perbincangan dan perdebatan yang telah berlansung sejak satu abad yang silam hingga berlangsung sampai saat ini. Hal ini di kaitkan dengan Islam yang mempunyai hubungan agak canggung, antara Islam sebagai Agama dan Negara. Hubungan Islam dan Negara Modern dimana secara teoritis dapat di kelompokkan ke dalam tiga pandangan, yakni; Integralistik, Simbiotik, Sekularistik.


1.      Problematika Agama dan Negara

Konsep Islam tentang Negara sejak lama telah menjadi wacana dan bahan kajian, namun kajian tersebut hanya oleh kalangan terbatas. Sedangkan informasi dan penyabaran dari hasil kajian itupun terbatas pula, belum sampai menjangkau kalangan masyarakat Islam secera luas. Sementara itu banyak di ajukan pemikiran mengenai Negera Islam, yang kemudian berimplikasi bahwa pihak-pihak yang tidak sependapat dan kurang menyetujui pemikiran itu di anggap meninggalkan Islam. 
          Timbul juga adanya usaha-usaha yang bersifat eksperimental pada sejumlah  partai politik di Negara yang mayoritas penduduknya muslim untuk mewujudkannya. Dalam era reformasi ini pada pemilu 1999 di Indonesia, tidak kurang dari 17 partai politik yang mengklaim sebagai partai Islam, yang secara legal formal menyatakan diri sebagai representasi politik Islam dan menjadikan islam sebagai asasnya. Sehingga kemudian timbul term-term “Islam Politik” di satu pihak dan “Islam Kultural” di pihak yang lain. Perjuangan serupa pernah semarak pada era Presisiden Soekarno, saat itu partai Islam tertransformasikan dalam bentuk partai seperti Masyumi, PSSI, NU dan PERTI (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah).

Hubungan Agama dan Negara
Agama dan Negara (Politik)


         Pada umumnya kondisi pertarungan partai politik yang membawa bendera Islam di berbagai belahan dunia Islam mengalami kekalahan, dan mendapat tekanan dari penguasa.
        Mengenai hubungan Agama dan Negara, Islam sejak awal sejarahnya tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep Negara yang di kehendaki. Di sinilah letak timbulnya berbagai penafsiran dan upaya. Sementara pihak menghendaki tegaknya negara Islam. Sedangkan sebagian yang lain lebih cenderung menekankan isinya, yaitu tegaknya “the Islamic order” pada masyarakat. Itu artinya, agama di harapkan lebih di tonjolkan dalam aspek moralitas manusia dan etika sosial, ketimbang mementingkan legal formalisme agama. Baca juga: Pluralisme Agama.
       Hubungan Islam dengan Negara modern secara teori dapat di bedakan menjadi tiga pandangan ;integralistik, simbiotik, sekularistik.

1.      Paradigma integalistik
 paradigma ini menganut paham bahwa antara agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Menurut paham ini alqur’an mengandung segala-galanya termasuk di dalamnya mengenai sistem ketatanegaraan dan pemerintahan .oleh karena itu dalam penyelenggaraan negara, menurut paham ini , umat islam hendaknya kembali pada sistem ketatanegaraan islam ,dan tidak perlu mengadopsi sistem lain .secara konseptual agama tidak dapat terpisahkan dari politik , dan semua upaya pemikiran seorang muslim tentang moral dan politik mempunyai dasar-dasar keagamaan . menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus .  Hukum yang di gunakan pada paradigma ini adalah hukum Islam Paradigma Integralistik ini, di anut oleh Negara Saudi Arabia dan kelompok Islam Syi’ah di Iran.

2.      Paradigma Simbiotik
 paradigma ini menganut paham bahwa antara Negara dan Agama itu sesuatu yang berbeda namun memiliki hubungan timbal balik di mana peran Agama  terhadap Negara adalah sebagai pembina moral, etika, dan sumber spiritulitas warga Negara. Dan peran Negara terhadap Agama adalah sebagai pelestarian dan pengembangan itu sendiri. Karena tanpa Negara , agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan kenegaraan pada paradigma ini i atur oleh kontrak sosial, namun bisa di warnai oleh hukum Agama. Kelompok ini menyadari bahwa Islam mempunyai ajaran etika bernegara dengan prinsi-prinsipnya antara lain seperti fridom kebebasan dan kemerdekan dalam hal ini agama di harapkan lebih mementingkan etika sosial dan wawasan moralitas dari pada mementingkan legal formalism agama. Agama juga akan lebih mengedepankan nilai dasar universal agar terjalin kharmonisan di antara sesama warga negara. Contoh negara yang menganut paradigma ini adalah mesir dan indonesia.

3.      Paradigama Sekularistik
Paham ini beranggapan bahwa antara Agama dan Negara adalahsesuatu yang berbeda dan keduanya memiliki peran dan fungsi masing-masing ,sehingga keduanya terdapat pemisahan yang sangat jelas.paradigma ini  menyatakan bahwa Agama tidak menekankan adanya kewajiban mendirikan Negara.kelompok ini mengetengahkan argumentasinya , bahwa tidak ayat yang secara tegas mewajibkan pembentukan pemerintahan dan negara ,kelompok ini juga menegaskan , bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugasyang di wahyukan tuhan kepada nabi Muhammad .menurut paham ini negara adalah urusan publik, sedangkan agama merupakan urusan pribadi warga negara.hukum yang berlaku dalam paradigma ini adalah sosial contract yamg sama sekali tidak melibatkan hukum agama,contoh negara yang menganut paradigma ini adalah negara turki .
             Agama di negeri ini diposisikan pada tempat yang  strategis.sekalipun disebutkan bahwa indonesia bukan sebagai negara yang berdasarkan agama,tetapi pemerintah  memberikan  perhatian yang sedemikian luas  terhadap kehidupan beragama. Sejak lahir,pemerintah negeri ini menunjuk satu departemen tersendiri yang bertugas melakukan pembinaan dan pelayanan terhadap semua agama yang ada,yaitu  Departemen  Agama
            Pemerintah juga memberikan anggaran melalui APBN sebagaimana pada departemen lainnya.Dahulu,pada masa orde baru,Departemen Agama dikenal sebagai instasi pemerintah yang paling cekak anggarannya.kantor-kantor instasi pemerintah,termasuk lembaga pamendidikan yang berada di bawah Departemen ini di kenal tampak sederhana dan bahkan tampak  kusam, karena kekurangan anggaran.Tetapi akhir –akhir ini sudah menampakkan wajah yang  cerah.Anggaran  Departemen  Agama,  masuk kategori papan atas. Tugas  Departemen  Agama sebagaimana nama yang disandangnya adalah melakukan pembinaan  dan pelayanan kehidupan umat beragama. Tugas ini cakupanya jika dirinci cukup luas,mulai dari merumuskan kebijakan Nasional di bidang keagamaan,melaksanakan pembinaan dan pelayanan, termasuk pembinaan kerukunan umat beragama. Yang tampak menonjol, dalam membina umat beragama selain melalui tempat-tempat ibadah,adalah melalui pendidikan agama. Dalam melaksanakan kebijakanya, departemen Agama memiliki direktorat jendral sesuai dengan jenis tugas dan agama yang hidup dan berkembang di indonesia. Sementara ini,ada dirjen pendidikan islam,dirjen haji, dirjen pembinaan  masyarakat islam, dirjen pembinaan  kristen katolik, dirjen agama kristen protestan, dirjen pembinaan  agama hindu, dirjen agama budha. Agama Kong Hu Cu,sementara masih berada di bawah Sekretaris  Jendral Departemen Agama. Di Eropa pada abad pertengahan gereja memiliki peran yang sangat dominan dalam bidang politik. Gereja banyak  terlibat dalam urusan bagaimana mengelola negara karena antra Agama dan politik geeja menyatu pada otoritas yang tunggal, yakni Gereja. Gereja katolik pada waktu itu menjelma bukan saja menjadi agama yang mengjarkan nilai kebutuhan dan moral melainkan juga sebagai sebuah institusi politik yang memiliki banyak wewenang.
            Dinamika hubungan Agama dan Negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/ kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama ( pra abad perrtengahan), ketika negara di bawah agama (pasca abad modern sekarang ini). Sejauh ini kita beanggapan hubungan sekularistik utuk agama negara meupakan opsi yang terbaij. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi memperalat negara  untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula Nagara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan”wisdom” yang di dapat oleh masyarakat barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kirnya jelas. Bagi umat Islam sendiri , barat atau timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar , Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya.  “ Kebaikan bukan so’al Barat atau di Timur, melainkan so’al Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan”  Yang artinya;” Yang demikian itu karena Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dengan (Membawa) kebenaran,  dan sesungguhnya  orang- orang yang berselisih paham tentang ( Kebenaran) Kitab itu, mereka dalam perpecahan yang jauh”[1]. Dari ayat tersebut sudah di jelaskan bahwa orang yang berselisih tentang paham maka mereka dalam perpecahan yang sangat jauh. Di sini kita di tuntut untuk saling menghargai antara umat beragama, agar terjalin hubungan yang harmonis dan tercipta kehidupan damai.

2.   Tinjauan Hubungan Negara dan Agama
Tinjauan hubungan Agama dan Negara secara ideologis pertama-tama harus di letakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar dalam kehidupan (Aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang pemikiran adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliah) tentang alam semesta, manusia, dan kehudupan, serta tentang apa yang sebelum kehidupan dunua dan sesudah kehidupan dunia, dan dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953). Oleh sebab itu, pambahasan hubungan agama dan negara sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut.
Mengingat kini ideologi yang ada di dunia ada 3 (tiga), yaitu sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra’sumaliyah), dan Islam, mak aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun setidaknya ada 3 (tiga) macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme  dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama dan negara.
[2]Pandangan yang berkembang saat ini adalah Aqidah Sosialisme, yang mana Sosialisme itu sendiri merupakan Materialusme (Al Maaddiyah), yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada Tuhan , tidak ada Ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Material asal usul sesuatu. Materi merupakan dasar eksitensi segala macam pemikiran. Dari ide materialisme, Yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme (Ghanim Abduh, 1964). Atas dasar ide materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pegakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas di ingkari oleh ide materialisme. Bahkan “agama dalam pandangan kaum sosialis hanyalah ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat yang harus di musnahkan dari muka bumi”
Dengan demikian, menurut sosialisme, hubungannya dapat di istilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agma dalaam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus di buang. Baca juga: Pengertian Kurikulum.

3.      Tokoh Medernisasi Islam di Indonesia   

a.      Nurcholis Madjid
Nurcholish lahir di Mojoanyar jombang pada tanggal 17 Maret 1939. Lingkungan kelurganya termasuk kalangan beragama, bahkan ayahnya adalah seorang pembela Masyumi yang gigih. Di samping pendidikan awalnya pad madrasah diniyah milik keluarga, Nurcholis masuk juga pada sekolah rakyat (SR) di kampungnya. Setelah itu ia di masukkan ayahnya ke Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, namun hanya bertahan dua tahun karena alasan politik. Ayahnya tetap di Masyumi, meskipun NU menyatakan keluar, maka ia pun memindahkan Nurcholis dari basis tradisional ke pesantren terkenal Darussalam Gontor Ponorogo. Menurut Nurcholish sendiri, di sinilah masa paling menentukan pembentukan sikap keagamaannya.
Pada tahun 1968 atas undangan Departemen Luar Negeri AS, Nurcholish berkesempatan untuk mengunjungi negeri tersebut. Selama itu, ia sempat ke berbagai universitas, mengamati kehidupan politik dan sosial keagamaan serta berdiskusi dengan sejumlah tokoh.
Sebagai pemikir yang cukup memiliki otoritas, pandangn-pandangan Nurcholish tidak semata berhubungan bukan Cuma dengan agama Islam, tapi juga lain dari agama islam, Sebenarnya dia juga ahli dalam hal demokrasi. Bagi Nurcholish, Demokrasi adalah suatu hal yang dinamis. Ia senantiasa bergerak dan berubah, baik itu kearah negatif maupun positif. Suatu Negara cukuplah di sebut demokratis manakala di dalamnya terdapat proses-proses perkembangan menuju ke arah yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan. Check lits  yang dapat di gunakan untuk mengukur maju mundurnya demokrasi adalah seberapa jauh kebebasan asasi seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul dapat di laksanakan. Kebebasan asasi itu sekanjutnya dapat di kaitkan dengan berbagai pengalaman di berbagai segi kehidupan, baik dalam dimensi politik, ekonomi, maupun hukum.[3]
           
            b.  Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid di lahirkan pada tanggal 4 agustus 1940 di jombang dari lingkungan sentral NU. Ayahnya adalah KH. Wahid Hasyim, putra pendiri NU Hadaratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari, yang semasa hidupnya pernah menjadi ketua PBNU. Salah seorang pennda tangan piagam jakarta serta Mentri agama pada Kabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman. Dari garis ibunya dia mewarisi darah K.H.Bisyri Samsuri  yang juga pernah menjadi Rais Syuriah.
Usai menamatkan sekolah rakyat, ia meneruskan ke SMEP di yogyakarta sambil belajar di pesantren krapyak. Semasa ini ia telah banyak membaca buku-buku berat, seperti what is to be Done? [4]
Pola pemikiran Abdurrahman Wahid, kiranya dapat di telusuri sejak tahun 1970-an. Pada periode awal ini ia banyak mencurahkan perhatiannya tentang dunia pesantren. Ia telah menulis sejumlah artikel, dan bagian-bagian terpentingnya di publikasikan dalam buku Bunga Rampai Pesantren (1978) .  Di samping ia memperkenalkan kepada orang luar perihal kekuatan yang ada di pesantren , seperti etos percaya diri dan gaya hidup sederhana. Abdurrahman mengingatkan kepada orang dalam bahwa pesantren kini sedang di persimpangan jalan, hal itu di antaranya di sebabkan karena imbas modernitas di satu sisi dan sisi lain karena kurang terakomodasinya tuntutan-tintutan masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak ada jalan lain menurutnya kecuali harus dilakukan dinamisasi,yaitu usah membangkitkan kualitas secara progresif yang memungkinkan Islam tetap revelan dan dapat di terima. Yang dapat di catat di sini bahwa pada tahap awal ini Abdurrahman telah menempatkan dirinya sebagai penyambung budaya, yaitu membawa pesantren ke perbincangan modernitas, seolah dia mendialogkan antara ke duanya. Dengan cara ini ia berharap orang-orang pesantren dapat mencari jalan keluar sendiri dalam menangani tantangan modernitas.
Masa tahun-tahun itu Abdurrahman terlibat dalam pemikiran yang intensif dalam merumuskan pemahaman keislaman yang integral dan komprehensif. Ia mulai melakukan terobosan-terobosan pemikiran, yang kemudian mengantarkannya sebagai pemikir kritis termasuk pada tradisi keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya itu tampak nyata dalam perumusannya dalam konsep Ahlus Sunnah Waljama’ah yang berada dengan mainstrem umum pemahaman masyarakat. Sebagaimana di ketahui, doktrin ini merupakan landasan paling pokok dalam pandangan keagamaan kaum tradisionalis.
Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang telah mengalami pematangan dalam alam tradisionalisme dan modernisme sekaligus yang membuatnya mampu bersikap kritis atas ke duanya, dia juga pemikir dan praktisi sekaligus, yang membuatnya seimbang dalam pengembangan ide dan realitasnya dalam masyarakat       

               DAFTAR PUSTAKA  

Drs. Kunawi Basyir, civic education, Surabaya: IAIN SA PRESS, 2011.
Drs. Amir Aziz, Neo-Modernisasi Islam di Indonesia,jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999.
Ahmad Jibran, Hubungan Agama dan Negara,2007.
Mas’udi, Meredefinisi Hubungan Agama dan Negara,2008.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 176.
Madjid, 1997.
Karl Heinrich Marx, Contributon to the Critique of Hegel’s Philoshophi of Right,1957.


[1] Qur’an; al-baqarah ayat 176
[2]Karl heinrich Marx, Contributon to the Critique of Hegel’s Philosopi of riht (1957:42)
[3] Madjid, 1997:246
[4] Karya lenin

0 Response to "Hubungan Antara Agama dan Negara"

Post a Comment