Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Tabi'in



Jasa Penulisan Makalah - Mempelajari perkembangan Hukum Islam Pada Masa Tabi'in dirasa memang perlu untuk dilakukan. Karena dinamika pada masa Tabi'in (orang yang pernah bertemu dengan sahabat Nabi) sangat kompleks sekali seiring dengan wilayah politik Islam yang semakin luas. Dan tentunya ini juga berpengaruh pada bagaimana perkembangan Hukum Islam itu sendiri.
A.           Pengertian Tabi’in
Menurut pendapat al-Khatib[1], mengatakan bahwa Tabi’in adalah orang yang menyertai sahabat, tidak cukup hanya bertemu saja – seperti batasan arti sahabat, mereka cukup hanya bertemu saja dengan Nabi Muhammad SAW, karena nilai kemuliaan, ketinggian budi Nabi. Berkumpul sebentar dengan Nabi bisa berpengaruh terhadap Nur Ilahi seseorang. Sedangkan bertemu dengan orang lainnya tidak (termasuk dengan para sahabat) meskipun waktunya lebih lama.
Sedangkan kebanyakan ahli hadist berpendapat bahwa, Tabi’in adalah orang yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Setelah masa kholifah ke empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in. Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakain luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks.

Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Tabi'in
Periodisasi Hukum Islam

B.            Sumber - Sumber Hukum Masa Tabi’in
Dalam melakukan ijtiihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para sahabat, meliputi :
1.         Al – Qur’an merupakan sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara umum. Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam al – Qur’an tidak bersifat rinci, pada dasarnya ketentuan al – Qur’an merupakan kaidah – kaidah umum.
2.         Sunnah intinya adalah ajaran – ajaran Nabi SAW yang disampaikan lewat ucapannya, tindakannya, atau persetujuannya. 
3.          Ijma’ merupakan kesepakatan para ulama (ahli hukum yang melakukan penemuan hukum syarak).  Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
4.         Qiyas merupakan perluasan ketentuan hukum yang disebutkan di dalam teks al – Qur’an dan Sunnah sehingga mencangkup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam teks kedua sumber pokok itu berdasarkan persamaan. Untuk sahnya dilakukan qiyas, harus terpenuhinya empat rukun qiyas:
a.          Adanya kasus pokok, yaitu kasus yang disebutkan di dalam al – Qur’an atau hadist.
b.         Adanya ketentuan hukum kasus pokok
c.          Adanya kasus cabang, yaitu kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya
d.         Adanya ’illat bersama, yaitu alasan hukum yang sama antara kedua kasus bersangkutan.
5.      Disamping itu, mereka menggunakan ra‘yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka menggunakan qiyas, jika mereka menemukan pandanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad.
           Baca juga:  Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Shariah Metodologis.
Setelah masa khalifah berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayyah. Sampai tahun 132 H / 750 M, dan selebihnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.[2] Pada masa Bani Umayyah ini menjadi perhatian kepada ilmu pengetahuan memuncak. Periode ini, merupakan periode keemasan bagi pembentukan hukum (fiqih) Islam, yang kemudian berkembang dan menghasilkan kekayaan hukum (fiqih) Islam.[3]

C.           Faktor – Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran – aliran politik yang secara implisist mendorong terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor – faktor yang mendorong perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut:
a.       Perluasan wilayah,  kekuasaan Islam telah luas. Hingga ke berbagai daerah yang mempunyai kebiasaan, muamalat dan kemaslahatan yang berbeda. Batas daerah kekuasaan Islam memanjang ke Timur sampai Cina, dan Barat sampai ke Andalusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam karena semakin luas wilayah, maka akan semakin luas pula persoalan hukum yang harus diselesaikan, maka dari itu Negara ini dan daerah – daerah lain membutuhkan undang – undang untuk mengatur masyarakatnya. Karena itu, diperlukan para hakim, kepala pemerintahan dan fatwa- fatwa untuk pedoman mereka. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para ulama mencurahkan perhatiannya menggali sumber – sumber syari’at (al - Qur’an dan hadist). Mereka mengembangkan hukum – hukum yang diperlukan oleh Negara dan kemaslahatan umat, dari nash – nash syari’st (al – Qur’an dan hadist). Mereka juga menciptakan metode – metode penetapan hukum untuk menyelesaikan persoalan – persoalan yang dimungkinkan akan terjadi. 
b.        Perbedaan penggunaan ra’yu, munculnya dua aliran yaitu, aliran hadist dan aliran ra’yu. Aliran hadist adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat hati – hati dalam penggunaan ra’yu. Sedangkan, aliran ra’yu adalah golongan yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan hadist.Kemunculan dua aliran semakin mendorong perkembangan hukum Islam pada saat itu.
c.         Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin mengamalkan ibadah dan muamalat (dalam arti luas) yang benar – benar sesuai denfgan al – Qur’an dan Sunnah. Karena itu baik secara kelompok maupun perseorangan, mereka selalu merujuk kepada ahli – ahli ilmu dan hukum, untuk meminta fatwa – fatwa sesuai dengan al – Qur’an dan Sunnah. Demikian pula para hakim dan kepala – kepala pemerintahan, mereka selalu meminta pendapat kepada para mufti dan ulama – ulama pembentuk hukum dalam menangani berbagai persoalan – persoalan yang mereka hadapi.
d.        Pada masa ini telah timbul penemuan – penemuan teori atau konsep – konsep hukum yang ditunjang oleh lingkungan tempat mereka berada, untuk mengembangkan penemuan – penemuan teori atau konsep – konsep hukum yang telah mereka miliki. Pada masa ini, tercatat dalam sejarah pemikiran hukum Islam, lahirnya mazhab – mazhab dalam hukum Islam :
1.   Mazhab Hanafi
Perintisnya adalah Abu Hanifah an – Nu’man bin Tsabit, berasal dari keturunan Persia, lahir di Kufah tahun 80 H (699 M). Ia belajar ilmu kalam dan hukum Islam di bawah bimbingan Hammat bin Abi Sulaiman. Dasar pemikirannya, berpijak pada kemerdekaan kehendak, karena menurutnya (Abu Hanifah) bencana paling besar menimpa manusia adalah pembatasan dan perampasan terhadap kemerdekaan. Seluruh hukum dan pendapatnya senantiasa berpijak pada pendirian bahwa kemerdekaan wajib dipelihara, dan dampak negatif dari pembelaan terhadap kemerdekaan, lebih ringan bencananya daripada pembatasan terhadapnya.[4] Contohnya, usia nikah bagi wanita ditinjau dari segi haknya. Ia berpendapat bahwa resiko yang diperbuat oleh wanita muda dalam memilih calon suaminya, lebih ringan bencananya daripada ia dipaksa untuk menikah dengan laki – laki yang tidak dikehendakinya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa hak individu tidak boleh dihalangi hak orang lain. Sehingga seseorang dapat menghormati kemerdekaan orang lain dan mempertahankan kemerdekaannya sendiri dengan cara tidak merusak atau melanggar kemaslahatan atau kemerdekaan orang lain.    
2.   Mazhab Maliki
Perintisnya adalah Malik bin Anas al – Asybahi al – ’Arabi, berasal dari Yaman, lahir di Madinah tahun 93 H (713 M). Ia terkenal dengan teori kemaslahatan dan menjadikannya sebagai pertimbangan menetapkan hukum serta sebagai dasar pengambilan hukum sehubungan dengan masalah yang tidak ada nas al – Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan boleh atau melarang. Dalam menetapkan hukum ia sering menggunakan konsep tentang sesuatu yang menjadi perantara, yakni sesuatu yang mendatangkan hal yang halal adalah halal, dan sesuatu yang mendatangkan hal yang haram adalah haram. Contohnya, Penjualan dengan cara kredit yang dapat menghilangkan harga asli yang dibayar dengan cara kontan adalah merupakan perantara terjadinya riba. Karena itu, penjualan secara kredit hukumnya haram dan penguasa wajib melarangnya. Sebab, penjualan secara kredit itu mestinya harus menjadi perantara kemudahan, bukan merupakan perantara pemaksaan untuk melakukan riba dan merupakan pendorong untuk memberikan harga yang lebih besar.[5]
Syari’at, menurut Imam Malik berdiri atas dasar pertimbangan menarik manfaat dan menjauhkan dari sesuatu yang merupakan jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang menjadi perantara bagi perbuatan lain harus dilihat akibatnya.
3.   Mazhab Syafi’i
Perintisnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i asy – Syafi’i, berasal dari keturunan Quraisy, lahir di Gaza tahun 159 H (767 M). Imam Syafi’i membangun struktur hukum Islam berlandaskan empat prinsip dasar hukum yang disusun secara sistematif, yaitu: al – Qur’an, Sunnah, qiyas, Ijma’. Menurutnya, konsepsi hukum Islam pada hakikatnya terletak pada ide bahwa hukum esesinya adalah religius dan berjalin berkelindan secara religius. Kekuatan hukum islam melebihi kekuatan hukum – hukum ciptaan manusia. Karena memiliki dasar dan sumber abadi, yaitu wahyu ilahi, karena lafal dan maknanya terhimpun dalam al – Qur’an dan maknanya saja tetapi lafalnya dari Nabi Muhammad yang terhimpun dalam hadist.
Sedangkan qiyas dalam hukum Islam, bukanlah sumber hukum. Hanya berfungsi sebagai metode penalaran yang bersifat analogis, yakni pengambilan kesimpulan dari suatu proses hingga sebuah kasus yang dapat dimasukkan dalam prinsip ini, atau disamakan dengan proses tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut ’illah. Metode Qiyas dalam pandangan S cyafi’i, menurut Abdul Wahhab Khallaf[6] bahwa dapat diterapkan jika nas telah memberi petunjuk hukum mengenai suatu kejadian dan ’illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara – cara yang telah ditentukan untuk mengetahui ’illat hukum, kemudian ’illat di dalam nash sama seperti ’illat yang ada pada waktu kejadian, maka kejadian itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nash-nya pada ’illat yang seperti ’illat hukum dalam suatu kejadian. Contoh, dalam al – Qur’an Surat Al – Maidah ayat 90 terdapat larangan minum khamar. Mengapa dilarang? Dan bagaimana minuman keras yang dibuat dari bahan lainnya, seperti beras ketan hitam, ketela, dan lain sebagainya?. Dalam hal ini perlu diteliti illat hukumnya (sebab larangan minuman keras itu), ialah karena memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu terdapat pada semua minuman keras. Karena itu, dengan metode qiyas, sejenis minuman keras diharamkan.   
4.   Mazhab Hambali
Perintisnya adalah Imam Abu ’Abdillah Ahmad bin Hanbal, lahir di Baghdad pada tahun 164 H (855 M). Ia menetapkan hukum berdasarkan bunyi nash yang terdapat dalam al – Qur’an , Sunnah dan pendapat atsar para sahabat kemudian qiyas. Ia tidak menggunakan qiyas kecuali jika tidak menemukan nash dalam al – Qur’an, Sunnah atau pendapat ulama salaf. Ia sangat ketat dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah dan hudud (sanksi pidana) yang jenis kadarnya ditentukan Allah dan Nabi Muhammad, yang merupakan tiang agama, karena ia melihat berbagai kegiatan bid’ah yang mewarnai kehidupan umat manusia, padahal perbuatan itu keluar dari batasan agama. Baca juga: Pluralisme Agama.
D.    Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Tabi’in[7]
Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya. Selanjutnya kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabiin juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader generasi mereka yaitu tabi’-tabi’in. Selanjutnya sesudah masa tabi’-tabi’in ini berakhir, maka para imam mujtahid empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.
Berikut akan dikemukakan tokoh-tokoh tasyri’dari generasi sahabat ke generasi berikutnya pada berbagai kota umat Islam.
Di Madinah
Guru besar tasyri’ yang populer dari kalangan sahabat antara lain:
1.      Umar bin Khattab (23 H / 654 M)
2.      Ali bin Abi Thalib (40 H / 661 M)
3.      Aisyah ash-Shidiqoh (57 H / 678 M)
4.      Abdullah bin Umar (74 H / 692 M)
5.      Zaid bin Tsabit (45 H / 666 M)
6.      Abu Hurairah (59 H / 680 M)
Murid atau kader mereka dari generasi tabi’in yang populer, antara lain :
1.      Said bin al-Musayyab al-Makhzumi (94 H / 713 M)
2.      Urwah bin Zubair bin Awwam al-Asadi (94 H / 713 M)
3.      Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin harits bin Hisyam al-Makhzumi (94 H / 713 M)
4.      Kharijah bin Zaid bin Tsabit (94 H / 713 M)
5.      Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (99 H / 718 M)
6.      Sulaiman bin Yasar Maula Ummul Mukminin Maimunah (104 H / 723 M)
7.      Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (106 H / 725 M)
Mereka bertujuh ini terkenal dengan sebutan “tujuh fuqaha Madinah”
Murid-murid atau kader mereka dari kalangan generasi tabi’-tabi’in yang terkenal antara lain:
1.      Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhriy (124 H / 742 M)
2.      Yahya bin Sa’id al-Bushiri (146 H / 763 M)
3.      Abu Bakar bin Hazm (120 H / 738 M)
4.      Abu Zunad Abdullah bin Dzakwan (131 H / 749 M)
5.      Rabi’ah bin Abd al-Rahman Faruh (136 H / 754 M)
Kemudian pengganti mereka, yakni generasi berilutnya antara lain, Malik bin Anas (179 H / 798 M), tokoh dan pendiri mazhab Malikiyah, dan rekan-rekannya di Madinah.
            Di Mekkah
            Guru besar tasyri’ yang populer dari generasi sahabat di Mekkah yaitu Abdullah bin Abbas (68 H / 687 M).
Murid-murid atau kadernya dari generasi tabi’in yang populer, antara lain:
1.      Ikrimah maula Ibnu Abbas (107 H / 726 M)
2.      Mujahid bin Jabir Maula Bani Mahzum (103 H / 722 M)
3.      Atha’ bin Abi Rabah Maula Quraisy (114 H / 733 M)
4.      Thaus bin Kausan (106 H / 733 M)
Murid-murid atau kader mereka dari generasi tabi’-tabi’in, antara lain:
1.      Sufyan bin ‘Uyainah (198 H / 807 M)
2.      Muslim bin Khalid al-Zauji mufti Hijaz.
3.      Abu Zubair Muhammad bin Muslim bin Tadarus Maula Hakim bin Hazm (137 H / 765 M)
4.      Ibnu Juraj (150 H / 767 M)
Kemudian generasi berikutnya pengganti mereka diantaranya Muhammad bin Idris al-Syafi’i (204 H / 820 M), seorang tokoh dan pendiri madzhab Syafi’iyah. Pada periode hidup yang pertama di Baghdad dengan qaul qadimya.

Di Mesir
            Guru besar tasyri’ yang populer dari generasi sahabat di Kufah yaitu Abdullah bin Amr bin  al-Ash (65 H / 686 M).
Murid atau kader mereka dari generasi tabi’in yang populer, antara lain :
1.      Yazid bin Abu Habib Maula al-Azadi mufti Mesir (128 H / 746 H)
2.      Abu al-Khair Martsad bin Abdullah al-Yaziniy mufti Mesir (90 H / 709 M)
Murid atau kader mereka dari generasi tabi’-tabi’in yang populer yaitu Al-Laits bin Sa’ad (175 H / 794 M).
Murid atau kader mereka dari generasi berikutnya ynag terkenal adalah Imama Syafi’i (204 H / 709 M) pada periode hidupnya yang akhir setelah pindah dari Baghdad ke Mesir.

Di Basrah
Guru besar tasyri’ yang populer dari kalangan sahabat di Basrah, antara lain:
1.      Anas bin Malik al-Anshari (93 H / 712 M)
2.      Abu Musa al-Asy’ariy (44 H / 665M)
Murid atau kader mereka dari generasi tabi’in Basrah, antara lain:
1.      Hasan al-Bashri, kepala tabi’in yang besar (111 H / 730 M)
2.      Muhammad bin Sirin Maula Anas bin Malik (110 H / 729 M)
3.      Qatadah bin Di’amah al-Dausiy (118 H / 737 M)
4.      Hasan bin Hasan Yasar Maula Zaid bin Tsabit (110 H)
5.      Abu Sya’tsa bin Zaid teman Ibnu Abu Abbas (93 H / 712 M)
Di Syam / Syiria
Sahabat yang terkenal mengembangkan hukum Islam di Kota Syam, antara lain:
1.      Muadz bin Jabal (18 H / 639 M)
2.      Abu Darda’ (38 H / 659 M)
3.      Ubadah bin Shamit (34 H / 655 M)
Murid atau kader mereka sebagai tokoh tasyri’ antara lain:
1.      Abd al-rahman bin Gunmin al-Asy’ariy (78 H)
2.      Abu Idris al-Khulani ‘Aidzullah bin Abdulah (80 H)
3.      Qabishah bin Dzu’aib(86 H)
4.      Makhul bin Abu Muslim (113 H)
5.      Raja’ bin Hayah al-Kindi (113 H)
6.      Umar bin Abd al-Aziz bin Marwan (101 H)
E.     Usaha di Seputar Sumber-Sumber Hukum
Ada 2 usaha alam rangka memelihara dan menjaga kemurnian al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dari segala macam perubahan, antara lain:
a.       Umat Islam menjaga dan memelihara al-Qur’an dengan cara menghapal seluruh al-Qur’an, 30 juz. Pada periode ini para penghapal al-Qur’an bertambah banyak dan tersebar ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pada setiap wilayah umat Islam mengenal qari’ yang terkenal antara lain:
1.      Di Madinah yaitu Nafi’ bin Abu Nu’aim al-Madaniy.
2.      Di Mekkah yaitu Abdullah bin Katsir al Dariy Maula Amr bin Al Qamah.
Di Basrah yaitu Abu Amr bin al-A’la al-Maziniy.
3.      Di Damaskus yaitu Abdullah bin Amr al-Yashabiy.
4.      Di Kufah yaitu Abu bakar Ashim bin Abu Najd, Hamzah bin Habib al-Zayat dan Abu Hasan Ali bin Hamzah al-Kisaiy maula Bani Asad.
b.      Usaha perbaikan bentuk penulisan al-Qur’an dan pemberian baris pada huruf-hurufnya. Usaha ini dilakukan karena mushaf yang dibukukan pada masa khalifah Usman bin Affan adalah ditulis dengan gaya tulisan kufi tanpa titik dan baris sedangkan pedoman membacanya berdasarkan penerimaan dari penghafal al-Qur’an.
Setelah orang-orang non Arab banyak masuk islam, maka muncul maslah dan kekhawatiran oleh sebagian para pembaca al-Qur’an akan terjadi kesalahan (kekeliruan) atau campur aduk dalam membaca khat dalam al-Qur’an.
Dengan melihat kenyataan ini menjadi masalah, maka:
Abu al-Aswad al-Dualiy (67 H / 688 M) atas instruksi gubernur Irak, Ziyad bin Abihi, membuat tanda baris di akhir tiap-tiap kalimat sebagai berikut:
·         Tanda fathah dengan satu titik di atas huruf (  .  )
·        
.
Tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf (  .  )
·        
..
Tanda dhammah dengan satu titik di samping huruf (      )
·         Tanda tanwin dengan dua titik di atas huruf (         )
Kemudian Khalil bin Ahmad berusaha merevisi tanda-tanda tersebut dengan menjadikan sebagai berikut:
·         Tanda fathah dengan alif yang dibaringkan diatas huruf (      )
·         Tanda kasrah dengan ya dibawah huruf (      )
·         Tanda dhammah dengan wawu diatas huruf (      )
Usaha selanjutnya oleh Nashr bin Ashim meletakkan titik-titik pada huruf yang semestinya diberi titik dengan satu atau dua titik atas instruksi gubernur Irak, al-Hajjaj bin Yusuf.
Adapun mengenai sumber hukum kedua yaitu sunnah. Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pada awal pemerintahannya mengirim surat kepada gubernur Madinah, Abu bakar Muhammad bin Umar bin Hazm agar segera mengumpulkan hadits-hadits rasulullah SAW dan membukukannya.
Pada tahap berikutnya terdapat 2 imam besar tokoh sunnah, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (256 H/870 M) dan Muslim bin Hajjaj an-Naisaburiy (261 H/ 875 M), menyusun dua buah kitab hadits yang berkualitas sahih yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dua buah kitab ini merupakan puncak era kodifikasi atau pembukuan hadits. Tokoh-tokoh hadits lain yang mengikuti jejak dan langkah mereka adalah Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistaniy (279 H / 893 M) dengan kitabnya Sunan abu Daud, Abu Isa Muhammad bin Isa al-salmiy al-Turmudziy (279 H/ 893 M) dengan kitabnya Sunan al-Turmudzi, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy yang terkenal dengan nama Ibnu Majah (273 H / 886 M) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majah dan Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i (303 H/ 915 M) dengan kitabnya Sunan an-Nasa’i.
Penetapan hukum Islam sebagaimana dapat dilihat pada sistem dan cara kerja yang dilakukan sejak penetapan periode Nabi Muhammad sampai dengan periode Tabi’in menunjukkan bahwa pada prinsipnya setiap penetapan hukum bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia di dunia an kebahagiaan di akhirat.
Untuk mencapai kemaslahatan tersebut, salah satu teori penetapan hukum dalam Islam ialah setiap penetapan hukum mesti dipertimbangkan dampaknya dulu, karena dampak dari suatu penetapan hukum termasuk tujuan yang diperhitungkan oleh syari’at[8].
Dalam Islam, obyek hukum dibagi dua;
1. Maqasid, yaitu sesuatu yang pada dirinya sendiri mengandung maslahah dan mafsadah.
2.  Zari’ah, yaitu jalan menuju maqasid tersebut.
Hipotesa kerja dari kerangka teori tersebut adalah, apabila zari’ah (sesuatu yang menjadi perantara) itu menuju maqasid yang diperbolehkan. Demikian pula, apabila hukum maqasid itu haram maka hukum zari’ahnya juga haram. Para Tabi’in menemukan teori ini, setelah mereka mengadakan penelitian secara sistematik dan mendalam terhadap sumber hukum Islam (Syari’at) yang terdapat di dalam al – Qur’an, surat Al – An’am (8) ayat 108; surat An Nur (24) ayat 31, dan lain sebagainya.  















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
·         Tabi’in adalah orang yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya.
·         Sumber hukum pada masa Tabi’in meliputi : Al-quran, As-sunnah, Ijma‘, Qiyas dan Ra’yu
·         Faktor – faktor yang mendorong perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut:
1.         Perluasan wilayah.
2.         Perbedaan penggunaan ra’yu.
3.         Kaum muslimin pada periode ini sangat antusias ingin mengamalkan ibadah dan muamalat (dalam arti luas) yang benar – benar sesuai denfgan al – Qur’an dan Sunnah.
4.         telah timbul penemuan – penemuan teori atau konsep – konsep hukum. Misalnya lahir madzhab –madzhab diantaranya : Madzhab Hanafi, Madzhaf Maliki, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hambali.
·         Pemegang kekuasaan Tasyri’ pada Masa Tabi’in
Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya. Selanjutnya kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabiin juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader generasi mereka yaitu tabi’-tabi’in. Selanjutnya sesudah masa tabi’-tabi’in ini berakhir, maka para imam mujtahid empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.

·         Usaha di Seputar Sumber hukum Islam
Ada 2 usaha alam rangka memelihara dan menjaga kemurnian al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dari segala macam perubahan, antara lain:
1.      Umat Islam menjaga dan memelihara al-Qur’an dengan cara menghapal seluruh al-Qur’an, 30 juz.
2.      Usaha perbaikan bentuk penulisan al-Qur’an dan pemberian baris pada huruf-hurufnya.

B.     Saran
Dari seluruh isi makalah, baik mengenai pembahasan maupun hasil pemaparan dapat dikaji lebih lanjut untuk pengembangan tentang objek pengkajian. Dapat pula membuat perbandingan mengenai objek pembahasan tersebut bagi siapapun yang berkeinginan mengembangkan dan mencari lebih banyak penjelasan hokum islam pada masa tabi’in sampai dengan munculnya madhzab yang masih belum terdapat dalam makalah.


[1]Dijelaskan dalam kitab al-Hadist wa al-Muhadditsuun.
[2]Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, hlm. 59
[3]Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Iktisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, hml. 37
[4]Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis.  hlm 49
[5]Abu Ishaq Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah. hlm 198
[6]Abdul Wahhab Khallaf, 1985.
[7]Abdul Wahab Khallaf. 2001. Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Hal  71-92

[8]Hamid Hasan, 1971

0 Response to "Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Tabi'in"

Post a Comment