Jasa Penulisan Makalah - Pluralitas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunah pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai perkembangan zaman.
Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai dilapangan.
Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai dilapangan.
Agama sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan medium budaya agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan ia diharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada sang Khaliq. Disini agama menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun disisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak memunculkan konplik. Pluralitas agama disatu sisi, dan hiterogenitas realitas social pemeluknya disisi yang lain, tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam tataran aksi. Disadari atau tidak, konflik kemudian menjadi problem kebangsan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan teologi normatif.
Akan tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau agama. Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama.
Lebih lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan dan telah menghiasi halaman-halaman media masa cetak maupun elektronik. Bila dicermati,maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan term pluralisme agama-budaya, perbedaan didalam memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Ayat Pluralisme
1. Ayat-ayat Madaniyyah
Sesunguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal salaeh, maka bagi mereka pahal disisi TuhanNyadan tidak ada ketakutan atas mereka dan tiada pula mereka berdukacita. (QS : Al-Baqarah : 62)
Dikemukan oleh Ibnu Abi> H<aitam dan Al-‘Adni dalam musnadnya, dari Ibnu Abi> Najih} yang bersumber dari Mujahid, bahwa Salman berkata : “Saya pernah bertanya kepada Nabi SAW, tentang pemeluk agama yang pernah saya anut dan saya pun menerangkan cara shalat dan ibadah mereka”. Maka turunlah ayat tersebut.
Dikemukakan oleh Al-Wa>hidi>, dari Abdillah bin Kathir, dari Mujahid, berkatalah ia : “ketika Salam meceritakan teman-temannya kepada Rasulullah SAW, lalu bersabdalah beliau : “Mereka semua di neraka”. Berkatalah Salman : “seakan-akan bumi gelap gulita bagiku, namun setelah turun ayat tersebut, bumi menjadi terang benderang bagiku.”
Dikemukakan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haitam dari Al-Suddi, ia berkata : “Bahwa teman-temannya Salman Al-Farishi”.
Sesungguhnya diantara orang-orang ahli kitab ada yang beriman kepada Allah SWT dan apa yang diturunkan kepdamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah diri kepada Allah SWT. Mereka tiada menjual ayat-ayat Allah dengan uang yang sedikit. Untuk mereka itu pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat segera menghisabnya. (QS. Ali Imran : 199). Baca juga: Bom Bunuh diri dalam tinjauan Fiqih.
Diriwayatkan dari Al-Nasa’I yang bersumber dari Anas. Anas berkata : “Ketika dating kabar kematian Al-Najashi (Raja Habasha), Rasulullah SAW, bersabda : “Salatilah ia”. Para sahabat bertanya : “Ya Rasulullah, apakah kita akan mensalati seorang hamba habash?”. Maka turunlah ayat tersebut.
Hai manusia, sesunguhnya Kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu), dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (bermacam-macam ummat) dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia diantara kamu disisi Allah, ialah orang yang lebih taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat : 13)
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Malikah yang berkata : Ketika terjadi peristiwapenaklukan kota Makkah Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan mengumandangkan adzan. Orang-orang berkata : “Orang yang di atas Ka’bah itu kan budak hitam”. Maka berkatalah sebagiannya : “Sekiranya Allah membencinya, tentu akan menggantinya”. Maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut diatas. Berkenaan dengan peristiwa itu, Islam tidak mengenal diskriminasi. Ukuran kemuliaan seseorang hanyalah tergantung ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Malikah yang berkata : Ketika terjadi peristiwapenaklukan kota Makkah Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan mengumandangkan adzan. Orang-orang berkata : “Orang yang di atas Ka’bah itu kan budak hitam”. Maka berkatalah sebagiannya : “Sekiranya Allah membencinya, tentu akan menggantinya”. Maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut diatas. Berkenaan dengan peristiwa itu, Islam tidak mengenal diskriminasi. Ukuran kemuliaan seseorang hanyalah tergantung ketaqwaan kepada Allah SWT.
Ibnu ‘Asakir berkata didalam kitab Mubhimatnya : “Saya mendapati Ibnu Basykual, bahwa Abu Bakar bin Abi Daud mengemukakan didalam tafsirnya ; ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abi Hindun. Rasulullah menyuruh kaum Bani Bayadhah untuk engawinkan salah seorang wanita mereka dengan Abi Hindun. Mereka berkata : “Ya Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan puteri-puteri kami dengan maula-maula kami?” Maka turunlah ayat tersebut. Berkenaan dengan peristiwa itu, Islam menegaskan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka.
B. Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-di>niyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerajaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui keeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
B. Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-di>niyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerajaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui keeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya-yaitu suatu system kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-sataun atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi-yaitu sesuatu yang sakral.
Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa "pluralitas agama" adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama.
Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa "pluralitas agama" adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama.
Majelis Ulama Indonesia mendefiniskan Pluralisme Agama sebagai : "Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga" . Lebih lanjut Nurchalish Madjid mengatakan pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi. Dia juga menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya; kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita); ketiga sikap pluralis yang biasa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya " Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah". Atau ' Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran". Artikel lain yang mungkin menarik bagi anda: Tafsir Hukum Menyakiti Allah dan RasulNya.
Komarudin Hidayat mengatakan bahwa pluralisme agama merupakan salah satu dari tipe sikap keberagamaan yang secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas, masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah diangap tidak relevan.
C. Tafsir Ayat Pluralisme
Selain ayat yang sudah dikemukakan diatas yakni surat al-Baqarah ayat 62, juga terdapat dibeberapa ayat yakni dalam surat almaidah 69:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
C. Tafsir Ayat Pluralisme
Selain ayat yang sudah dikemukakan diatas yakni surat al-Baqarah ayat 62, juga terdapat dibeberapa ayat yakni dalam surat almaidah 69:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Surat al-Hajj ayat 17:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Berkaitan dengan syarat pertama yaitu keimanan, pengulangan kata “beriman” dalam ayat tersebut. Pengulangan ini membuktikan bahwa; kata iman pada kata kedua yaitu “man a>mana” (barangsiapa yang beriman) menunjukkan pensifatan iman dengan arti yang sebenar-benarnya, “iman sejati”. Berbeda dengan kata iman pertama pada kata “innalladzina a>manu>” (sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang menunjukkan arti iman secara zahir saja, iman yang belum teruji. Dalam banyak ayat al-Quran, kata iman sering disandingkan dengan dengan kata amal saleh. Seakan-akan al-Quran ingin menjelaskan bahwa iman yang merupakan pekerjaan hati tidak akan bisa dipisahkan dengan ketaatan yang terjelma dalam amal saleh sebagai perwujudan zahir keimanan. Iman tanpa pengamalan zahir (baca: ketakwaan) tiada akan memberi kesan apapun, juga sebaliknya, amal tanpa iman tidak akan memberi kesan apapun dalam keselamatan abadi. Atas dasar inilah, maka dalam surat al-Baqarah ayat 62 tersebut dinyatakan bahwa syarat keselamatan adalah iman dan amal saleh.
Iman yang belum teruji tadi (iman zahir) mirip dengan yang disinyalir dalam sebuah ayat dari surat al-Hujurat. Allah berfirman: “Orang-orang Arab badui itu berkata; “Kami telah beriman”, Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk” karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalmu…Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”.
Rasul yang dimaksud disini adalah rasul utusan Allah yang terakhir karena pasca pengutusan Muhammad saw tidak ada lagi rasul yang diutus. Agama Muhammad adalah agama terakhir, syariatnya adalah syariat terakhir dan kitabnya adalah kitab terakhir. Semua itu bersifat mendunia, karena itu ajarannya berlaku hingga hari akhir zaman kelak. Umat Muhammad mencakup semua manusia pasca pengutusan beliau. Jadi, ketika Muhammad berdakwah kepada umat agama lain maka tidak ada alasan umat tersebut menyatakan bahwa “Aku bukan umat-mu, wahai Muhammad” atau “Engkau telah merebut umat nabi lain, wahai Muhammad”. Maka orang yang beriman dan beramal saleh harus mengikuti segala perintah Allah swt dan selanjutnya mengikuti Muhammad saw dengan semua ajarannya sebagai wujud zahir dari keimanan kepada Allah dan Rasul yang hubungan keduanya bersifat vertikal. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menyejajarkan secara vertikal ketakwaan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul. Allah swt berfirman agar Rasul menyatakan: “Bertakwalah kepada Allah dan taatilah aku”. Atau dalam ayat lain Allah berfirman: “Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam surat lain Allah swt berfirman: “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. Dalam ayat ini, Allah swt menyebutkan kata “Di antara manusia”, bukan menggunakan kata “di antara kaum muslimin”, atau “di antara pengikut Muhammad “ atau bahkan “di antara kaum mukmin”. Hal ini meniscayakan bahwa nama orang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani atau orang Shabi’in hanyalah gelar zahir yang tidak ada faedahnya di mata Allah. Allah swt tiada akan melihat gelar dan sebutan zahir saja. Hanya iman sejati kepada Allah dan hari akhir (kiamat) plus amal saleh saja yang menjadi tolak ukur sejati di mata Allah dalam memberi keselamatan abadi di alam sana. Atas dasar ini, dalam ayat tersebut Allah swt tidak menggunakan kata “man a>mana minhum” (barangsiapa yang beriman dari mereka). Tentu dari sini jelas di mana letak perbedaan antara penggunaan kalimat “barangsiapa yang beriman…” dan kalimat “barangsiapa yang beriman dari mereka”. Dan seandainya Allah swt menggunakan kalimat “barangsiapa yang beriman dari mereka…” sebagai alternatif kedua (dengan menambahkan kata “dari mereka”) , maka hal ini akan memberi konsekuensi sesuai dengan tata bahasa Arab bahwa kata ganti “mereka” tersebut akan kembali kepada sesuatu yang terdekat (al-maushul al-lazim) dari hubungan (shilah) tadi, yaitu kelompok agama-agama. Hal ini dilakukan untuk menjaga urutan (nadzm) yang jelas, sesuai dengan tata bahasa yang tepat. Namun, pada kenyataannya, ternyata Allah swt tidak menggunakan alternatif kedua tersebut. Sayangnya, dalam terjemahan al-Quran berbahasa Indonesia versi DEPAG terdapat kesalahan yang berakibat fatal. Di situ terdapat kata “di antara mereka”, padahal dalam teks asli Arab-nya tidak terdapat kata “minhum”. Kalau kita mau berprasangka baik (husnudzan) terhadap penerjemahan versi bahasa Indonesia tersebut, maka bisa kita katakan; mungkin mereka ingin menjaga tata bahasa Indonesia yang baik, tetapi di sisi lain penerjemahan semacam itu mengakibatkan tidak terjaganya amanat dari bahasa aslinya (Arab) yang tentunya juga bertentangan dengan amanat Ilahi.
Semuanya membuktikan bahwa tolok ukur sejati bagi kemuliaan dan keselamatan sejati adalah penghambaan murni (al-‘ubudiyah). Penamaan zahir dari kelompok manusia tidak akan bermanfaat sama sekali di mata Allah. Dan tidak ada gelar kesempurnaan apapun bagi suatu obyek yang dapat memberikan kesempurnaan dan keselamatan sejati melainkan penghambaan murni tadi. Dalam tolok ukur penghambaan murni ini, bukan hanya tidak ada beda antara nama dan gelar zahir seperti Islam, Yahudi, Nasrani, Shabiin, Zoroaster, Konfusius dsb, bahkan antara pribadi yang bergelar Nabi dan manusia biasa seperti kita pun tidak ada bedanya. Sebagai bukti dari pernyataan ini, surat al-‘An’am. Alah swt berfirman: “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. Juga salah satu ayat dari surat al-Fath, di situ Allah swt berfirman tentang para sahabat Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan ungkapan: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”, padahal betapa besar kedudukan dan kemuliaan mereka (para sahabat Nabi), tetapi tetap saja mereka memerlukan ampunan dari apa yang telah mereka perbuat. Ampunan dan pahala besar itu hanya didapat dengan mengimani dan mengamalkan ajaran yang dibawa Muhammad saww. sedang dalam surat al-A’raf, Allah menjelaskan kepada pribadi-pribadi yang diberikan ayat-ayat Allah dengan ungkapan: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing yang jika…”. Semua ayat-ayat tadi sebagai contoh bahwa tolok ukur sejati kesempurnaan, kemuliaan dan keselamatan abadi adalah sesuatu yang bersifat hakiki, bukan kesan zahir saja.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah; Apakah benar agama-agama non Islam yang telah disebut tadi telah memenuhi standart ajaran Tauhid yang dikehendaki oleh Allah? Berkenaan dengan agama samawi yang bernama Yahudi dan Nasrani, argumen ayat-ayat al-Quran sudah sangat jelas menghukumi mereka, khususnya pasca pemgutusan Muhammad saw sebagai Rasulullah. Alhasil, jika konsep pen-tauhid-an Allah yang mendasari amal saleh dan iman kepada hari akhir dari kedua agama tersebut masih perlu dipertanyakan, bagaimana mungkin mereka akan mendapat keselamatan sejati di akhirat kelak? Bagaimana mungkin amal mereka dapat disifati dengan saleh sedang syarat kesalehan yaitu hakikat ubudiyah kepada Allah belum terpenuhi? Bagaimana mungkin mereka akan dapat mengimani hari akhir, sedang iman sejati kepada Allah swt dengan berbagai konsekuensinya masih mendapat tanda tanya besar? Dan bagaimana mungkin mereka akan mendapat keselamatan sejati dan abadi di akhirat, sedang semua persyaratannya yaitu iman kepada Allah dan hari akhir, plus sarana penghubung keduanya berupa amal saleh yang sesuai dengan ajaran yang diperintahkan Allah untuk diikuti yaitu ajaran Muhammad saww masih sangat diragukan?
Dan perlu ditekankan kembali bahwa penghambaan kepada Allah secara utuh berarti berserah diri secara mutlak kepada Allah swt, termasuk ketaatan penuh terhadap perintah Allah swt untuk mengikuti Muhammad saww dan semua ajarannya. Akhirnya dengan tegas dapat dikatakan bahwa agama selain Islam sekarang ini pasca pengutusan Muhammad saw mereka bukan hanya tidak memiliki tolak ukur hakiki ubudiyah (penghambaan) yang jelas bahkan hal yang zahir dari mereka (amal saleh) juga tidak terlalu jelas. Karena kesalehan sebuah amal bukan hanya ditilik dari kesan positif lingkungan sekitarnya saja, tetapi harus ditilik juga dari sisi niat pelaku dalam melaksanakan penghambaan tersebut. Dari sini akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa berdalil dengan ayat ini untuk menguatkan konsep Pluralisme Agama yang berarti setiap agama mampu menghantarkan pengikutnya kepada keselamatan abadi dan sejati sangatlah tidak tepat, bahkan bisa dikatakan sebagai argumen yang terlalu diada-adakan dan cenderung melakukan pemaksaan terhadap teks. Pemaksaan semacam ini akan mengakibatkan seseorang terjerumus pada jurang penafsiran sesuai pendapat pribadi (tafsir bir ra’yi) yang jelas-jelas dilarang (baca: haram) dalam ajaran agama Islam.
Adapun masalah yang berkaitan dengan ayat 199 dari surat Ali Imran: “Dan di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”. Ayat ini berkaitan dengan para ahli kitab yang bersekutu dengan kaum mukmin dalam menggapai suatu kebaikan. Sedang hikmah di balik ayat tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan dan keselamatan abadi tidaklah memiliki jenis tertentu sehingga menghalangi para pengikut ahli kitab dalam keikutsertaan menggapainya. Jelas, jika para ahli kitab tersebut adalah orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kedudukannya sama dengan kaum mukmin dari golongan pengikut Islam. Tentu sekelompok ahlul kitab yang dipuji dalam ayat ini berbeda dengan mereka yang dicela oleh Allah dalam ayat-ayat lain, yang telah memisahkan antara rasul-rasul Allah dan menyembunyikan janji-janji Allah dengan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.
Kita telah sering mendengar kisah tentang penerimaan raja Najasyi akan kebenaran Islam dan apa penyebab kematiannya? Di tangan siapa dia mengimani Islam dan pembawanya (Rasulullah)? Apa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya kepada para juru dakwah Islam utusan Rasulullah? Najasyi termasuk dalam golongan orang Nasrani yang berhati bersih. Kebersihan hatinya itu ditambah dengan argumen sempurna yang dibawa oleh para juru dakwah utusan Nabi yang diketuai oleh Jakfar bin Abi Thalib (saudara kandung Imam Ali as) tentang kebenaran kenabian Muhammad saw telah membuatnya menerima ajaran Islam. Jadi, ayat itu tidak ter-nasakh (terhapus hukumnya), karena boleh jadi ada Najasyi-Najasyi lain—Nasrani yang berhati bersih—di zaman sekarang ini, namun karenan mereka belum kedatangan juru dakwah Islam pembawa argumen sempurna (hujjah tammah) tentang kebenaran Islam dengan cara yang baik dan benar yang dibawakan oleh Jakfar bin Abi Thalib zaman ini maka mereka masih tetap mengikuti agama Nasrani, begitu juga dengan pengikut agama Yahudi yang juga tergolong Ahlul Kitab. Para ahli kitab semacam inilah yang akan ditolerir oleh Allah swt sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas tadi. Ini semua membuktikan bahwa betapa kasih dan sayangnya Allah swt atas setiap hamba-Nya, khususnya yang belum mendapat petunjuk melalui argumen sempurna. Dan berdasarkan konsep keadilan Ilahi, Allah swt mustahil akan mengazab (baca: menyengsarakan) seseorang yang belum mendapatkan argumen sempurna (hujjah taammah) tentang kebenaran Islam.
Sebagian lagi dari kaum muslimin pendukung pluralisme agama, ketika menetapkan kebenaran pluralisme agama melalui teks al-Quran, mereka berdalil dengan ayat yang tercantum dalam surat al-Hujurat yang berbunyi: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian…”. Mereka berargumen dengan ayat ini dengan menyatakan bahwa ayat-ayat sebelum ayat ini selalu menjadikan orang mukmin sebagai obyek seruannya (khitab). Namun, pada ayat ini, Allah menggunakan seruan “wahai manusia” yang mencakup semua pengikut agama. Jadi, kata “kalian” dalam ayat ini adalah segenap manusia, termasuk masalah ketakwaan yang menjadi tolok ukur kemuliaan di sisi Allah. Maka, dari agama apapun seseorang, jika ia bertakwa, niscaya ia akan lebih mulia di sisi Allah dari pengiku agama lainnya.
Mungkin muncul pertanyaan, apakah setiap ayat yang obyek seruannya adalah segenap manusia meniscayakan bahwa hukum itu telah dilaksanakan oleh setiap manusia? Artinya, memang dalam ayat itu Allah telah menjelaskan kepada setiap manusia tentang pentingnya takwa di sisi-Nya, namun tentang siapakah orang yang benar-benar bertakwa tidak dijelaskan sama sekali dalam ayat ini. Dan pembahasan ini masuk dalam pokok bahasan lain yang dijelaskan dalam ayat-ayat lain pula. Di sinilah diperlukan penjelasan satu ayat dengan ayat yang lainnya. Maka dari ayat tadi, muncul dua pokok bahasan baru di sini; Apakah difinisi ketakwaan? Dan, siapakah orang yang bertakwa? Maka dibutuhkan pembahasan tersendiri tentang hakikat takwa dalam pandangan al-Quran.
Secara global, takwa dalam bahasa al-Quran berarti menjaga/penjagaan. Kita bisa menerapkan arti itu pada kalimat takwa di dalam al-Quran. Terkadang obyek ketakwaan (penjagaan) adalah Allah, kadang juga selain Allah, seperti kiamat dan api neraka, dsb. Dalam ayat disebutkan “Jagalah (diri) dari api yang bahan bakarnya dari manusia dan batu” [wattaquu an-naarallatii waquudhannasu wal hijarah]. Tapi bagaimanapun juga, sumber utama dan tujuan akhir ketakwaan adalah Allah. Jadi penjagaan berasal dan berakhir kepada Allah. Karena ketakwaan semacam itu harus dilakukan oleh setiap manusia sebagai konsekuensi sebagai seorang hamba di hadapan Tuhannya, maka dari situ terjawab sudah rahasia di balik penggunaan seruan manusia secara umum dalam ayat tadi. Ayat tadi sama persis dengan ayat-ayat lain seperti ayat yang berbunyi: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri (jiwa) yang satu…”. Atau ayat dari surat al-Baqarah: “Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa”. Namun sayang, banyak hamba-Nya yang lalai akan hal tersebut. Mereka lupa bahwa dirinya adalah makhluk Allah yang memiliki konsekuensi semacam itu. Dengan kata yang lebih ringkas, takwa berarti menjaga perasaan Allah dengan usaha optimal untuk menjauhi segala larangan dan melakukan segala perintah-Nya, sebagai konsekuensi bagi seorang hamba yang tunduk di hadapan Sang Pencipta.
Jadi, walau obyek seruannya adalah manusia secara umum, namun karena pelaku ketakwaan memberikan konsekuensi pengkhususan, maka pernyataan “Sesungguhnya yang mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” hanya dikhususkan bagi orang-orang kelompok tertentu dari manusia tadi. Berdasarkan penjabaran ayat-ayat lain, maka dapat diketahui bahwa kelompok tertentu tadi adalah orang yang optimal melaksanakan perintah Allah termasuk perintah mengikuti Muhammad saw beserta ajarannya dan menjauhi berbagai larangannya termasuk berlepas tangan dari segala perbuatan kaum Yahudi dan Nasrani yang telah tertera dalam al-Quran. Jika diperhatikan, sebab-sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat di atas (al-Hujurat:13) berkenaan dengan seorang muslim dan tidak ada kaitannya dengan penganut agama lain. Jadi obyek riil ketakwaan khususnya pasca pengutusan Muhammad tidak tertuju pada setiap agama yang dianut manusia, namun hanya pada ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. Singkat kata, memang obyek seruan dalam surat al-Hujurat ayat 13 itu tadi bersifat umum (yaitu para manusia) dan berbeda dengan ayat lainya dalam surat tersebut namun bukan berarti penerapan ekstensi riil (mishdaq) konsep ketakwaan pun bersifat umum dan lintas agama, apalagi lintas umat manusia yang mencakup kaum Ateis sekali pun.
Ada satu poin lain yang harus ditekankan pada pembahasan ini (pluralisme agama), bahwa sewaktu Islam dan kaum muslimin tidak mengakui kebenaran konsep pluralisme agama yang berarti kebenaran semua agama atau tidak membenarkan keyakinan bahwa semua agama mampu menghantarkan umatnya untuk mendapat keselamatan abadi dan sejati, bukan berarti kita menyatakan perang dan tidak dapat hidup berdampingan dengan non-muslim manapun. Ataupun dengan seenaknya kita bisa langsung menuduh setiap non-muslim yang berada di sekitar kaum muslimin sebagai penghuni neraka. Karena tidak semua orang yang belum menerima kebenaran agama Islam disebabkan penentangan (I’naad) mereka. Boleh jadi disebabkan mereka belum mendapat argumen sempurna (hujjah taammah) yang mampu membawanya ke arah Islam. Di sisi lain, dilihat dari sejarah Rasul sebagai suri tauladan kaum muslimin telah terbukti bahwa walaupun Rasul tidak mengakui kebenaran agama Yahudi dan Nasrani, namun beliau dapat hidup berdampingan dengan mereka di Negara Madinah dan tetap berusaha menyampaikan kebenaran Islam kepada mereka. Beliau tetap melaksanakan tugasnya sebagai sebagai pembawa dan penyampai amanat Ilahi. Atas dasar inilah Rasul diperintahkan tetap mengajak kaum Yahudi dan Nasrani untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Yang tiada memiliki sekutu apapun. Allah swt berfirman: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah…”. Ajakan ini memberikan pengertian bahwa betapa ajaran kaum Yahudi dan Nasrani telah terpolusi dengan ‘kekafiran’. Dan salah satu konsekuensi dari mengesakan Tuhan dalam arti yang sesungguhnya berarti mengikuti semua perintah-Nya, termasuk perintah untuk mengikuti Muhammad sebagaimana yang tertera dalam banyak ayat al-Quran seperti yang telah dilakukan raja Najasyi penguasa Nasrani dari Habasyah (Etiopia) dan seruan Rasul melalui surat yang dilayangkannya kepada para penguasa non-muslim lainnya.
BAB III
Kesimpulan
Islam sesungguhnya mengakui akan pluralitas agama (keragaman agama), tetapi pluralisme agama (semua agama sama) bertentangan dengan ajaran Islam karena dengan paham tersebut dakwah Islam jadi terputus, syari’ah Islam bisa terhapus akidahpun tergerus.
Mengakui kebenaran agama sama merupakan paham syirik, karena mencampur adukan yang hak dan yang bat}il, seperti hal yang paling mendasar yang bertentangan antara Islam dengan agama lain adalah Tuhan yang disembah berbeda dan tatacara menyembah berbeda pula. Hal ini menafikan ayat al-Qur’an surat al-Imran ayat 19-20 dan al-Baqarah ayat 256:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.(QS. Al-Imran 19-20)
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)
Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Allah tidak menerima Agama selain Islam sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Imran ayat 85Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
0 Response to "Pluralisme Agama"
Post a Comment